Bisnis.com, JAKARTA -- Anak laki-laki bernama Jiale itu terlihat merengut di mobil. Pasalnya, pembantu rumah tangganya yang bernama Teresia akan kembali ke Filipina. Krisis ekonomi yang melanda Singapura pada 1997 silam itu membuat orang tuanya tak mampu lagi membayar gaji pembantu.
Padahal, Jiale sudah merasa nyaman dengan perempuan yang akrab disapanya Aunty Tere itu, meski pada awal perkenalan sempat bertengkar berkali-kali. Namun, lama kelamaan mereka bisa bersahabat. Demi mencegah aunty-nya dipecat, dia bahkan nekad mengikuti lotere, meski pada akhirnya usaha itu berbuah nihil.
Ketika keluarganya mengantarkan Teresia ke bandara, dia berbuat nakal, berusaha mencegah ibu satu anak itu pulang ke negaranya. Sesaat sebelum perempuan berambut panjang itu turun dari mobil, anak laki-laki berusia 11 tahun itu tiba-tiba menggunting ekor rambut Teresia. Dia pun ditegur oleh ibunya.
Sayangnya, aksi itu gagal membuat Aunty Tere bertahan di sisinya. Jiale yang kehilangan, enggan turun dari mobil, tangannya masih menggenggam erat potongan rambut aunty-nya. Perlahan, dia mencium rambut itu, air mata pun menetes dari wajahnya.
Kisah yang menyentuh itu adalah adegan dari film berjudul Ilo-Ilo , yang ditayangkan dalam acara amal sekaligus pemutaran film yang diadakan Kedutaan Besar Singapura di Jakarta, Selasa (20/01). Acara ini diadakan dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan Singapura ke-50 tahun ini, yang jatuh pada 09 Agustus nanti.
Dalam kesempatan itu, Kedubes Singapura juga memberikan sumbangan dana sebesar Rp20 juta untuk organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Hal ini merupakan simbol bahwa pemerintah Singapura mendukung kegiatan komunitas dan organisasi di Indonesia, terutama yang berkontribusi di bidang pendidikan.
Duta Besar Singapura untuk Indonesia Anil Kumar Nayar berharap melalui film karya sutradara Antony Chen ini, masyarakat Indonesia bisa melihat sisi humanis Singapura. Selain itu,dia juga ingin menunjukkan sekelumit potret kehidupan buruh migran, yang tak selamanya memperoleh nasib buruk di negeri perantauan.
“Secara khusus, bagi rakyat Indonesia yang hanya melihat Singapura sebagai tempat pariwisata dan suga belanja, saya berharap film ini akan membantu menunjukan sisi yang humanis dari Singapura,” ujarnya.
Dia juga mengatakan pada dasarnya, film ini merupakan cerita tentang orang-orang biasa seperti masyarakat pada umumnya yang berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan.
Dalam kesempatan itu, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri juga menyaksikan film tersebut. Menurutnya, meski buruh migran dalam cerita berasal dari Filipina, film ini tetap mempunyai kaitan erat dengan Indonesia.
“Kebetulan topiknya tentang buruh migran, masih berkaitan dengan Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja domestik yang cukup besar,” ujarnya. Dia pun berharap kisah dalam film ini bisa menjadi virus positif bagi keberlangsungan hidup para buruh migran Indonesia di luar negeri.
Film berdurasi 99 menit ini terinspirasi dari masa kecil sang sutradara Anthony Chen yang juga pernah memiliki seorang pembantu rumah tangga asal Filipina. Nama Ilo-Ilo pun diambil dari sebuah daerah di Filipina, tempat asal pembantunya tersebut. Kendati demikian, sutradara lulusan National Film and Televisi School UK ini menolak film ini disebut film otobiografi.
Dalam proses pembuatannya, Chen dan timnya melakukan riset yang serius guna menghadirkan kembali suasana Singapura di era krisis 1997 melalui latar tempat, properti, hingga busana dan tata rias yang sesuai dengan zaman tersebut. Hasilnya,Ilo-Ilo pun berhasil meraih penghargaan bergengsi Camera D’or untuk kategori film cerita asing terbaik di Festival Film Cannes 2013, juga penghargaan film terbaik di Taipei Golden Horse ke-50 pada tahun yang sama.