Bisnis.com, BANDUNG—Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat bakal menggenjot industri kecil dan menengah yang bergerak di bidang fesyen terutama busana wanita agar mampu berdaya saing saat pasar bebas Asean.
Kepala Disperindag Jabar Fery Sofwan mengatakan industri fesyen wanita di Jabar tidak begitu mengharapkan barang impor karena kebutuhan pemenuhan tren pakaian yang tinggi memberi stimuli kinerja IKM untuk terus memproduksi. “Cakupan mode pakaian wanita itu luas, desain selalu bisa diinovasikan. Hal tersebut dapat terus dimanfaatkan oleh IKM,” ujar Fery kepada Bisnis, Minggu (5/4).
Bahkan, perkembangan IKM busana wanita pun terus berkembang dengan metode penjualan yang semakin inovatif. Saat ini busana wanita sepeti ‘hijab’ masih terus jadi komoditas tinggi dengan cara penjualan online di berbagai media sosial. Namun, Fery melanjutkan, untuk pemenuhan tersebut IKM di Jabar masih mengimpor bahan-bahannya dari India dan China.
“Adapun yang tetap diimpor dari luar itu busana yang ready to wear dengan menghadirkan desain-desain baru,” kata Fery. Fery tidak menafikan produk busana impor yang masuk ke Indonesia akan bersaing di Indonesia, terutama saat pasar bebas Asean. Maka dari itu, para pelaku IKM harus terus dibekali untuk siap bersaing menghadapi hujan impor produk beberapa waktu lagi. Menurutnya, para pelaku IKM harus dibina bagaimana cara mengembangkan dan meluaskan cakupan desain untuk target wanita.
Hal itu menjadi satu kekurangan bagi IKM karena tidak seperti di industri besar yang telah memiliki ahli desain sendiri. Sementara itu, industri fesyen pria ternyata dinilai lebih mendatangkan potensi impor barang dari luar. Hal ini diduga karena adanya faktor psikologis khas yang dimiliki pria pada umumnya. Dia mengatakan pria pada umumnya tidak begitu menggandrungi perubahan tren dalam gaya busana. Hal tersebut menyebabkan hasil industri busana dalam negeri terutama dari Jabar tidak mendapat tempat.
“Pria biasanya tidak begitu mengikuti tren. Mereka biasanya hanya membeli saja sesuai kebutuhan pemakaian, dan biasanya ke mal. Pakaian di mal pada umumnya barang impor,” jelas Fery. Akibat faktor psikologis tersebut, industri busana asal Jabar terutama IKM tidak membuat keragaman produksi untuk pria. Dengan kata lain, cakupan mode pakaian untuk pria tidak luas dan tidak tereksplorasi.
Sementara itu, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kab Bandung melarang buyers untuk melakukan transaksi langsung di tempat produksi dengan perajin konveksi di Soreang. Selain itu, produk konveksi mereka pun akan diwajibkan untuk dibuat label. Kepala Diskoperindag Kab Bandung Popi Khopipah mengatakan, sejak 2013 pihaknya melarang pembeli asal Malaysia datang langsung ke perajin dengan hanya melakukan transaksi di tempat penjualan bukan ditempat produksi.
Sebagai solusinya, pihaknya mendorong perajin mendirikan paguyuban dan koperasi. Nantinya, koperasi ini yang akan menampung hasil produksi dari para perajin dan melakukan perdagangan ke luar negeri, baik ke Malaysia maupun negara lainnya. Menurut dia, produk busana Muslim asal Soreang ini terkenal di sentra-sentra perdagangan pakaian seperti di Tanah Abang, Bongkaran di Jakarta dan Tegal Gubuk Kabupaten Cirebon. Kualitas, kerapihan serta model yang variatif menjadi salah satu alasannya. Sayangnya, selama ini para produsen pakaian itu hanya menjual pakaian tanpa label atau merek. Sehingga, para pembeli yang berasal dari Malaysia sangat tertarik untuk membelinya.