Bisnis.com, JAKARTA - Close up tangan, bergantian dengan foto masa lalu berwarna monochrome menjadi adegan tunggal yang menghias layar lebar. Sementara itu, suara liris seorang perempuan terdengar bersahutan dengan cuaca yang jauh dari kata bersahabat.
Suara perempuan itu terdengar mengiba melihat sosok pria sedang berjuang bertahan hidup melawan suhu dingin yang menusuk tulang. Suara perempuan ini terdengar terus dari awal hingga film berakhir.
Saat penonton berada dalam puncak kebosanan, layar yang dipenuhi warna monochrome yang sendu, berubah pada adegan pemandangan pohon-pohon pakis berwarna hijau khas Rusia.
Adegan ini dibuat dengan teknik bergantian antara long shot, dan medium shot. Sangat indah, dan menghibur kelelahan visual penonton pada adegan sebelumnya. Teknik natural, dan indah ini berlangsung tanpa narasi sedikitpun.
Film dokumenter berjudul Elegy from Russia ini dibuat oleh Aleksander Sokurov, sineas asal Rusia. Film ini menjadi salah satu dari 130 film dokumenter yang diputar pada salah satu festival film dokumenter paling bergengsi dan tertua di dunia, yaitu Yamagata Film Festival.
Karya Sokurov ini dinilai mendobrak pandangan klasik tentang film dokumenter yang selama ini hanya merekam kehidupan nyata, dengan penegasan-penegasan lewat narasi. Batasan tentang tema ini runtuh saat melihat karya yang dipertandingkan dalam festival.
Kreativitas para sineas dokumenter menggiring penonton untuk melihat bentuk dan pendekatan film dokumenter yang baru. Elegy from Russia membuktikan bahwa film dokumenter tidak hanya berkutat pada etnografi dan dicirikan dengan narasi.
Menyoroti perkembangan film dokumenter di Indonesia, sutradara film dokumenter senior Tino Saroengallo menuturkan dilihat bahwa masalah tema dan ide cerita sangat mudah ditemukan di Indonesia.
“Selain itu, kru film di Indonesia lebih siap jika ditugaskan untuk mendampingi produksi film dokumenter di manapun tempatnya. Secara sumber daya manusia sangat banyak yang kreatif dan bagus,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman selama hampir 25 tahun terjun di dunia audio visual, dia menilai pemerintah juga lebih terbuka terhadap para pembuat film dokumenter asing yang datang ke Indonesia.
Utamanya, jika akan mengangkat keragaman budaya, dan kekayaan flora fauna. Namun, keterbukaan tersebut masih belum berlaku pada pembuatan film dokumenter yang mengangkat tema sosial politik. Kreativitas dan ragam jenis film dokumenter yang dipertontonkan pada festival juga membuktikan bahwa jumlah pelaku film dokumenter semakin tinggi, dan seringkali tidak berfokus pada sisi material.
Dandhy Dwi Laksono, CEO Watchdog sekaligus sineas dokumenter, menuturkan film jenis ini semakin banyak di cari di Tanah Air. “Saya cukup terkejut, yang tidak ada di televisi malah dicari. Bahkan [dokumenter disiarkan] yang di televisi mungkin dianggap pasaran atau biasa, atau ada pemikiran kalau masuk televisi berarti sudah diperlunak [sensor],” ujarnya.
Tingginya minat anak muda untuk menekuni film dokumenter tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi. Peralatan penunjang proses produksi yang harganya sangat mahal dapat digantikan dengan gawai yang lebih murah tetapi berkualitas tinggi. Selain itu, para sineas tidak perlu menunggu festival dan mendaftarkan filmnya untuk diperlombakan, tetapi cukup mengunggah ke media sosial atau youtube.
TINGGALKAN PROFIT
Tidak cukup hanya perangkat saja yang menjadi perhatian dalam produksi film dokumenter. Pengetahuan luas, dan kemampuan memilih sudut pandang film menjadi bakal penting untuk sutradara film dokumenter.
“Filmmaker harusnya niatnya dari situ, tidak perlu berpikir profit dulu. Buatlah dengan tujuan untuk memperkaya pengetahuan publik. Jangan mikirin views, itu enggak bedanya dengan televisi yang mikirin rating ,” katanya.
Dia menjelaskan keuntungan finansial merupakan konsekuensi dari ketekunan dari sineas itu sendiri. Jika hasil film dokumenter bagus, tambahnya, maka akan banyak sponsor yang datang untuk mendanai produksi film selanjutnya.
Menurutnya, film dokumenter memiliki pangsa pasar tersendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan film komersial. Dia menuturkan segementasi penonton dokumenter sangat jelas.
Menurutnya, film dokumenter yang diunggah di Youtube dan ditonton di atas 100.000 orang sudah cukup bagus. “Ukuran apresiasi itu tidak hanya dengan melihat mau atau tidaknya penonton membayar karcis, tetapi bisa juga dilihat dari seberapa besar kemauan mereka untuk menghabiskan kuota internet untuk menonton film dokumenter,” katanya.
Sutradara Orizon Astonia mengakui Indonesia sangat potensial untuk didokumentasikan. “Sejauh ini, saya rasa film dokumenter yang paling heboh [di Indonesia] adalah Senyap [karya sutradara Joshua Oppenheimer]. Ada banyak kejadian penting di negara ini. Hanya saja, siapa [tokohnya] dan bagaimana [peristiwanya], itu yang perlu dikembangkan lagi,” katanya.
Menurutnya, film dokumenter harus berpijak kepada realitas sehingga ranah komersial bukan menjadi hal yang utama. “Namun, bukan berarti film dokumenter tidak boleh dikomersialkan. Banyak film dokumenter yang sukses di pasar komersial. Perlu diperhatikan, apakah kontennya riil, dan apakah penonton akan percaya. Sebab, dokumenter tujuannya bukan untuk menghibur, tetapi memperlihatkan kebenaran. Jangan memodifikasi realitas,” tegasnya.
Dia memprediksikan masa depan film dokumenter di Tanah Air sangat cerah. Meskipun, dari sisi finansial tidak semoncer film fiksi. “Pada dasarnya, barang seni itu susah dikomersialkan. Sebab, pada akhirnya seni itu identik dengan [cita rasa] personal,” katanya.
Sutradara dan produser Bambang Hengky menambahkan yang menjadi tantangan untuk film dokumenter adalah mekanisme distribusi, dan riset. “Dari mekanisme distribusinya seringkali disebut sebagai proyek rugi. Namun, sekarang sudah ada media seperti youtube untuk mengunduhnya,” katanya.
Tantangan selanjutnya adalah riset. Pembuat film dokumenter harus pandai untuk menemukan ide atas peristiwa yang berdasarkan data dan fakta. Selain itu, memudahkan penonton untuk menikmati film dokumenter tersebut.
“Film dokumenter akan mudah dinikmati dengan dokumenter narasi. Saya menekankan pada bahasa tutur agar semua usia bisa menikmatinya. Pertama, dari cara saya bertutur melalui film. Kedua, saya menampilkan gambar yang bisa menarik perhatian, dan ketiga, musik yang enak didengar,” ujarnya.
Pemilik Kharisma Starvision Plus Chand Parwez Servia mengatakan para produser film komersial menetapkan standar yang tinggi untuk memproduksi film dokumenter yang layak diputar di layar lebar.
Menurutnya film dokumenter akan memiliki prospek yang bagus untuk dikomersialkan asalkan dikerjakan dengan kreativitas tinggi, dan profesional. (WIKE D. HERLINDA, AZIZAH NUR ALFI, TISYRIN NAUFALTY T. & DIENA L ESTARI)