Salah satu metode pengobatan termutakhir untuk mengatasi disfungsi ereksi adalah melalui Extracorporeal Shock Waves for Sexual Therapy (ESST).
Health

Para Pria, Ini Metode Baru Atasi Disfungsi Ereksi

Rezza Aji Pratama
Minggu, 13 Maret 2016 - 03:30
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Dalam kehidupan berumah tangga, disfungsi ereksi pada pria bisa menjadi sebuah bencana. Selain mengganggu keharmonisan rumah tangga, seseorang yang mengalami kesulitan untuk memulai maupun mempertahankan ereksi juga susah mendapatkan keturunan.

“Saya punya pasien yang sudah menikah sembilan tahun, tetapi belum memiliki anak karena suaminya mengalami disfungsi ereksi,” cerita Nouval Shahab, Dokter Spesialis Bedah Urologi yang bertugas di RS Premier Jatinegara.

Disfungsi ereksi pada pria merupakan suatu kondisi ketika seseorang tidak mampu menegangkan atau mengeraskan alat kelaminnya (penis) ketika berhubungan suami istri. Akibatnya, seorang pria tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Kendati demikian, menurut Nouval, bukan berarti mereka yang mengalami gangguan ereksi ini tidak bisa mencapai orgasme.

Pada dasarnya, disfungsi ereksi disebabkan oleh dua hal, yakni faktor psikogenik dan faktor organik. Pemicu pada faktor psikogenik terjadi ketika emosional seseorang tidak dalam kondisi bagus, misalnya ketika mood jelek atau stres. Dalam kondisi tersebut, seorang pria bisa saja kehilangan kemampuannya untuk ereksi. Namun, hal tersebut akan berangsur membaik jika mood yang bersangkutan juga membaik.

Selanjutnya, faktor organik—yang paling sering terjadi pada pria—disebabkan oleh penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, atau stroke. “Saat ini banyak pria menyepelekan penyakit ini, padahal dampaknya bisa berbahaya,” paparnya. Secara medik, aneka penyakit degeratif tersebut akan membuat jaringan erektil di bagian penis rusak sehingga aliran darah menjadi tidak normal.

Nouval menjelaskan berdasarkan penelitian terhadap para pria yang mengalami disfungsi ereksi, hanya 5% yang mengonsumsi obat-obatan, 5% mencoba terapi lain, sedangkan 90% lainnya justru tidak mencari jalan keluarnya. Menurut Nouval, disfungsi ereksi sebenarnya juga bisa menjadi tanda-tanda awal penyakit lain yang lebih serius seperti jantung koroner. Tidak heran jika penyakit ini banyak diderita oleh mereka yang berumur 40 tahun ke atas.

Namun, bukan berarti kelompok orang dengan usia muda aman dari penyakit ini. Nouval mengatakan saat ini, tren penyakit degeneratif seperti diabetes juga sudah mulai diderita oleh kelompok usia produktif. Selain tekanan pekerjaan yang bisa memicu stres, gaya hidup usia muda yang gemar merokok dan mengonsumsi alkohol juga menjadi pemicu utama.

PENCEGAHAN

Nouval menjelaskan masalah disfungsi ereksi sebenarnya bisa dicegah, salah satu caranya adalah rutin melakukan hubungan intim dengan pasangan. World Heath Organization bahkan sampai mengeluarkan rekomendasi untuk berhubungan seks minimal dua kali seminggu guna menurunkan risiko disfungsi ereksi. Bagi pria yang mengalami andopouse atau penurunan hormon testosteron, biasanya mulai tidak bergairah sehingga jarang melakukan hubungan seksual.

Akibatnya, aliran darah ke jaringan erektil di penis mulai berkurang sehingga mudah sekali terkena disfungsi ereksi. Lantas, bagaimana mengobati masalah ini?

Nouval menuturkan solusi paling umum yang diberikan kepada mereka yang mengalami disfungsi ereksi adalah dengan mengonsumsi obat-obatan tertentu. Namun demikian, selain hanya bersifat sementara, konsumsi obat-obatan juga memiliki efek samping seperti nyeri kepala, indigestion , dan bisa menyebabkan kualitas sperma menurun. “Terlalu sering minum obat juga akan membuat saraf kebal,” paparnya.

Salah satu metode pengobatan termutakhir untuk mengatasi disfungsi ereksi adalah melalui Extracorporeal Shock Waves for Sexual Therapy (ESST). Nouval menjelaskan metode tersebut dilakukan di luar tubuh tanpa operasi atau pembiusan. Pada dasarnya metode tersebut memiliki prinsip yang sama dengan pengobatan batu ginjal yang oleh masyarakat awam di sebut laser.

Selain lebih aman, metode tersebut juga diklaim memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Biasanya, terapi ini dilakukan sebanyak dua kali dalam seminggu selama sembilan minggu. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan frekuensi terapi ditambah sehingga prosesnya bisa lebih cepat selesai.

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Minggu (13/3/2016)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro