Bisnis.com, JAKARTA - Penyedia fasilitas bioskop alternatif atau sinema mikro (microcinema) semakin merebak di Indonesia. Sarana ini menjadi alternatif bagi para pecinta film untuk menyaksikan tayangan berkualitas, selain yang tersedia di layar-layar bioskopmainstream.
Tak hanya itu, keberadaan ruang-ruang sinema mikro ini menjadi solusi distribusi film independen kepada khalayak yang lebih luas. Bahkan, tidak jarang film-film independen yang diputar di sinema mikro berhasil sukses dan berprestasi di festival yang lebih besar.
Menilik dari sejarahnya, istilah microcinema pertama kali dicetuskan pendiri Total Mobile Home microCINEMA, Rebecca Barten dan David Sherman, di San Francisco pada 1994. Mereka menggagas gerakan memproduksi dan mendistribusikan film indie berbujet rendah.
Jadi, pada awalnya, terminologi ‘microcinema’ merujuk pada film-film independen berbiaya rendah dengan format DV, video Hi-8, atau video 16 mm; bukan pada tempat alternatif menayangkan film selain di bioskop.
Seiring dengan perkembangan subkultur microcinema, film-film independen berbujet rendah pun mulai diproduksi dengan lebih serius, sehingga banyak dari mereka yang akhirnya berhasil menembus berbagai festival film ternama.
Meledaknya subkultur microcinema itu lantas melahirkan ruang-ruang ekshibisi sejenis teater kecil atau tempat screening guna memutar film-film kreatif berbujet rendah tersebut. Dari sanalah lantas istilah microcinemamulai merujuk pada ruang-ruang alternatif menonton film
Di Surabaya, salah satu microcinemayang getol mempromosikan film indpenden berbujet rendah buatan sineas lokal adalah Sinema Intenesif. Komunitas ini banyak melakukanscreening dan menelurkan sineas-sineas independen berprestasi di berbagai festival film.
Lantas, apa saja kegiatan Sinema Intensif? Bagaimana pula perkembangan subkultur microcinemasaat ini? Apa keuntungan dan tantangan dari keberadaan sinema mikro sebagai bioskop alternatif di Tanah Air? Berikut penuturan co-founder Sinema Intensif, Yogi Ishabib:
Apa yang melatarbelakangi didirikannya Sinema Intensif?
Tujuan awalnya adalah, kami menginginkan eksistensi ruang pemutaran [film] alternatif. Di Surabaya sendiri sebenarnya sudah ada beberapa, tetapi kebanyakan sinema mikro yang ada hanya membedah [film dari sisi] teknis.
Sebaliknya, kami bertujuan agar sebuah film juga dibahas bagaimana latar sosiopolitiknya, tidak hanya sekadar teknisnya. Selain itu, kami juga ingin menjadi wadah bagi sineas lokal untuk saling unjuk karya.
Banyak kawan kami yang juga menyutradarai film-film pendek. Nah, sebelum produksi final [final cut] dilansir, biasanya kami mengadakan pemutaran film karya mereka dulu di Sinema Intensif. Setelah di-screeningbiasanya kami mengadakan diskusi atau bedah film.
Pada saat diskusi itulah, para peserta bisa memberikan masukan, kritikan, maupun apresiasi bagi sineas. Hasil masukan, kritikan, dan apresiasi itu lantas menjadi bahan pertimbangan sineas untuk menyunting film ke tahap akhir, sebelum akhirnya diajukan ke tingkat festival.
Sejak kapan berdirinya dan di mana saja lokasi screening-nya?
Kami berdiri sejak 2015; berawal dari kegiatan Jogja-NETPAC Asian Film Festival tahun lalu. Salah satu teman saya ada yang menjadi juri di festival tersebut. Dari sana, lantas dia memperkenalkan saya kepada beberapa penggiat film.
Dari perkenalan itu muncullah ide membuat program perfilman sebanyak dua kali dalam sepekan. Jadwalnya rutin setiap Selsa dan Kamis. Kegiatannya tidak hanya sekadar pemutaran film, tapi bisa juga pembacaan naskah, diskusi, atau hal-hal lain terkait film.
Ada dua tempat yang kami gunakan untuk kegiatan kami. Untuk kegiatan pemutaran reguler setiap Selasa dan Kamis, kami menyewa sebuah rumah di daerah Kertajaya [Surabaya] dengan kapasitas 50 orang.
Lalu, pada Agustus, kami mulai menggagas festival film pendek bernama Festival Kecil. Lokasinya adalah di Wisma Jerman dan Taman Budaya Cak Durasim. Festival perdana itu sukses menggaet submisi hingga 230 karya.
Pascafestival itu, kami melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kota Surabaya untuk membuat program pemutaran film. Lalu, pemkot menawarkan penggunaan Gedung Merah Putih Balai Pemuda untuk pemutaran, pascaproduksi, dan kegiatan lain terkait film indie.
Bagaimana penentuan agenda pemutarannya?
Penjadwalan agenda pada awalnya tidak menentu. Namun, karena kegiatan kami telah menjadi agenda rutin, akhirnya kami membuat program berdasarkan tema untuk setiap pekan atau bulan.
Misalnya, pekan ini kita membuat agenda dengan tema membedah sejarah film dari era realisme sampainew wave, berikutnya agenda dengan tema lain, dan seterusnya.
Pada intinya, setiap menentukan program, kami berupaya agar penonton atau peserta tidak sekadar nonton bersama terus pulang, tetapi juga merasakan pengalaman eksklusif bersama dengan sineasnya.
Apa kriteria untuk film-film yang bisa ditayangkan Sinema Intensif?
Tidak ada kriteria khusus yang kami kurasi. Film yang ditayangkan bisa berdasarkan usulan dari anggota komunitas kami. Tidak hanya film produksi sineas lokal saja, film-film asing dengan value lebih bisa diputar juga.
Lalu, tidak hanya film pendek, tetapifeature film atau film panjang pun bisa diputar. Terkadang, kami juga memilih film berdasarkan momentum. Misalnya, pada Juli, saat sineas Iran, Abbas Kiarostami wafat, kami membuat program tributemenayangkan karya-karyanya.
Bisa juga, kami memilih film berdasarkan dari temanya. Misalnya, film-film bertemakan neorealisme selama rentang waktu tertentu.
Bagaimana sampai akhirnya komunitas ini bisa mengagas festivalnya sendiri?
Seperti yang saya singgung sebelumnya, berawal dari kegiatan pemutaran film reguler di sinema mikro kami, lantas kami mencoba membuat festival pada Agustus. Namanya Festival Kecil. Hanya saja, festivalnya khusus untuk film-film pendek.
Kami mengangkat narasi kecil yang berkaitan dengan keseharian. Berbagai kejadian-kejadian kecil yang menyusun sebuah peristiwa besar. Festival itu bertujuan untuk menyuguhkan tayangan yang tidak sekadar mengejar logika pasar. Kami juga mengangkat tema-tema yang luput digarap sineas film panjang.
Saat ini, berapa jumlah anggota Sinema Intensif?
Ada sekitar 21 anggota aktif dari latar belakang berbeda-beda, mulai dari sejarahwan, mahasiswa, dosen, penikmat film, atau orang-orang yang kerap berkecimpung di dunia perfilman; entah proses produksi atau pascaproduksinya.
Pada dasarnya, apa yang membedakan sinema mikro dengan bioskop konvensional?
Pertama, dari segi ruang pemutaran. Bioskop dengan kapital besar tentunya memiliki fasilitas yang lebih besar, sedangkan sinema mikro—sebagaimana namanya—memiliki kapasitas kecil. Dari segi peralatan pun jelas berbeda.
Kedua, dari segi suasana dan interaksi pengunjung. Bioskop besar itu hanya seperti tempat jajan atau tempat besar di mal atau plaza; di mana orang datang, membeli tiket, menonton, lalu pulang. Selesai sudah.
Sebaliknya, di sinema mikro, hampir semua kegiatannya dilakukan secara swadaya oleh anggotanya. Kami membuat pergelaran secara swadaya, baik itu pemutaran film atau diskusi. Semua berdasarkan inisiatif bersama. Ada community building di dalamnya.
Di sinema mikro, dananya pun kebanyakan dari anggota untuk anggota. Terkadang kami harus memberikan kontribusi sekitar Rp10.000—Rp15.000, dan hasilnya adalah untuk pengembangan karya sineas yang filmnya sudah ditonton sebagai bentuk apresiasi.
Ketiga, karena di sinema mikro ada unsur community building-nya, sifat kegiatannya pun lebih organik. Kami tidak sekadar memberikan tontonan, tetapi menambah wawasan penonton dan output langsung dari penontonnya bisa menjadi masukan bagi sineas.
Apakah dari komunitas sinema mikro ini sudah pernah membibitkan sineas yang berprestasi di kancah festival besar?
Tentunya. Ada beberapa dari anggota kami. Misalnya saja, Wimar Herdanto yang berprestasi di Arkipel Festival 2014 lewat film Gundah Gundala. Lalu, Theo Maulana yang lolos ke Ganesha Film Festival, JAFF-NETPAC, dan Vidsee lewat karyanya Di Sekitar Televisi.
Ada juga Reza Fahriansyah Andi Budrah yang masing-masing menyutradari dan memproduseri filmLYN yang berhasil tayang di Second Asia International Youth Short Film Exhibition di Wenzhou, China.
Bagi penonton sendiri, apa manfaat yang didapatkan dari sinema mikro?
Jangan berharap mendapatkan kenyamanan seperti di bioskop, karena ruang lingkup sinema mikro lebih kecil. Namun, dari sinema mikro kita bisa melihat arus film Indonesia, tidak hanya yang dikuasai oleh rumah-rumah produksi terkenal yang bisa dilihat di bioskop.
Misalnya saja, film apik karya Wregas Bhanuteja berjudul Prenjak, yang tidak tayang di bioskop mainstream tetapi memenangkan penghargaan film pendek terbaik di Semaine de la Critique 2016 di Prancis.
Dari sinema-sinema mikro ini, kita bisa melihat begitu banyak sineas lokal kita yang sebenarnya berprestasi di luar negeri. Sebaliknya, banyak sineas yang bisa menyebar prestasi internasional karena berawal dari aktif di komunitas-komunitas sinema mikro semacam ini.
Mereka mau memperkaya diri di sinema mikro dengan berbagai kajian, bahasan, dan pengetahuan seputar film. Mereka mau memperkaya eksperimen filmmaking-nya tanpa mengkhawatirkan bakal laku atau tidak. Berbeda dengan produsen film mainstream.
[Kebanyakan] film [yang ditayangkan di sinema mikro] tidak semata-mata dibuat untuk menuruti pasar, tetapi untuk mendapat respons audiens tentang tema yang diangkat. Kalau tema itu berhasil tersalurkan dengan baik, maka film itu memiliki nilai lebih.
Siapa saja pangsa penontonnya? Berapa rata-rata jumlah penonton setiap kali screening?
Untuk program reguler, biasanya jumlah penonton tidak lebih dari 30-50 orang setiap penayangan. Namun, kalau sedang ada festival, setiap pemutaran penontonnya bisa mencapai 80-100 orang.
Itu membuktikan banyak anak muda yang tertarik dengan tayangan di luar asupan film bioskop. Hanya saja, selama ini mereka tidak tahu sejauh mana pergerakan sineas lokal dan di mana mereka mendistribusikan filmnya.
Bagaimana perkembangan sinema mikro di Surabaya sejauh ini?
Saya lihat jumlahnya sudah mulai banyak, baik yang terdeteksi maupun yang tidak. Gairahnya cukup besar terutama di wilayah-wilayah sekitar kampus, hanya saja mungkin oleh sebagian pihak masih belum dipandang sebagai aktivitas yang serius.
Darimana saja mendapatkan material film untuk ditayangkan?
Kami kenalan dengan sutradaranya, entah secara formal atau informal. Lalu, minta izin memutar film mereka. Itu adalah jalur yang paling mudah dan paling sering kami gunakan. Terkadang kami juga pendekatan ke berbagai komunitas film yang memiliki rumah produksi film independen.
Ada juga yang menggunakan sistem kolektif. Jadi melalui sebuah badan yang mengumpulkan film-film dari sutradara-sutradara lokal. Lalu mereka menentukan harganya. Misalnya, sekali pemutaran harga [sewanya] antara Rp500.000—Rp700.000.
Nah, nanti kita tentukan sistem bagi hasil dari penjualan tiketnya. Biasanya pembagiannya adalah 30% untuk kami sebagai penyelenggara, 40% untuk badan kolektif tersebut, dan 30% untuk sutradaranya. Dari hasil perhitungan itu, baru nantinya ditetapkan harga tiket.
Apakah sinema mikro ini bagian dari program profit oriented Sinema Intensif? Jika ya, berapa omzetnya?
Dibilang profit oriented tidak juga, karena kegiatan kami ini sebenarnya hanya bentuk apresiasi pada para sineas lokal. Harga tiketnya saja tidak mahal. Untuk program reguler sekitar Rp10.000—Rp20.000. Itupun harus dibagi dengan badan kolektif dan sutradaranya.
Namun, kalau kami menggelar acara seperti festival, memang bisa mendatangkan keuntungan. Harga tiketnya dijual Rp25.000 untuk terusan menonton 5 film pendek. Kalau dalam 2 hari ada sekitar 200-250 penonton yang datang, tinggal dikalikan saja.
Namun, lagi-lagi untungnya tidak banyak karena harus dibagi tiga dengan rumah produksi dan sutradara. Memang tujuan awal kami adalah untuk apresiasi sineas lokal. Jadi, laba yang didapat pun nantinya diputar lagi untuk ongkos screening dan membuat pergelaran/festival.
Apa tantangan dari mengelola penayangan film di sinema mikro?
Tantangan utamanya adalah konsistensi ide. Kami harus terus menyusun program secara berkala dan berkesinambungan. Kami harus terus mempersiapkan pembaruan, inovasi, dan penyegaran tema agar kegiatan ini terus hidup dan bergairah.
Bagaimana Anda melihat perkembangan sinema mikro di Indonesia? Bagaimana pula prospeknya ke depan?
Saya melihat sinema mikro belum berada di tataran yang ‘aman-aman banget’. Sebab, kecenderungannya film independen di Indonesia saat ini masih belum meledak, tapi masih ada kemungkinan untuk terus berkembang.
Justru yang perkembangannya bagus ada di lini film pendek. Sekarang ini semakin banyak sineas lokal yang lolos ke festival internasional. Setidaknya itu memberi gambaran bahwa sampai hari ini produksi film pendek lokal masih terus berlangsung.
Hanya saja ke depan perlu ditingkatkan lagi soal kualitasnya, kedalaman tema, logika filmnya, serta unsur-unsur teknis lain. Termasuk soal distribusinya ke penonton, pengamat, komunitas, atau kritikus film.