Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Profesor dokter Moh Hasan Machfoed SpS(K) mengatakan bahwa Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Terawan Agus Putranto telah “membelokkan” Digital Subtraction Angiography (DSA) dari sarana untuk menegakkan diagnosis menjadi sarana terapi.
Bahkan, kata Hasan, DSA yang disebut sebagai metode “cuci otak” (brain washing/BW) oleh Terawan dijadikan prevensi. Padahal, DSA adalah metode untuk menegakkan diagnosis, untuk melihat apakah ada sumbatan pada saraf.
Pada metode yang disebut “cuci otak” itu, Hasan menyebut, Terawan menggunakan heparin. Heparin tidak bisa digunakan sebagai terapi stroke. Obat untuk menghancurkan sumatan (clot) adalah r-TPA.
“Heparin untuk mencegah penggumpalan darah. Heparin hanya berfungsi mencegah clot selama tindakan DSA yang menjadi dasar prosedur BW,” ujar Hasan kepada Bisnis.com, Kamis (5/4/2018).
Hasan pun menganalogikan bila baju kena lumpur, maka noda itu bisa dibersihkan dengan air. Namun bila kena cat, maka nodanya perlu dibersihkan dengan minyak tanah (cat larut dalam minyak tanah).
Sumbatan pada stroke dianalogikan sebagai noda cat yang perlu dicuci dengan minyak tanah (r-TPA). Noda tak bakal hancur bila hanya dicuci dengan air (heparin).
“ Secara klinis, DSA dengan heparin hanya berfungsi sebagai sarana diagnosis untuk melihat deviasi pembuluh darah (PD) otak, tapi sudah "dibengkokkan" menjadi sarana terapi, bahkan prevensi,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Hasan, perlu bukti ilmiah apakah pasien stroke yang ditangani Terawan sembuh atau tidak. Hasan menggaris bawahi pasien stroke, bukan pasien tidak stroke yang datang ke dokter untuk mengetahui apakah ada sumbatan pada saraf dengan metode DSA.