Bisnis.com, JAKARTA – “Perjuangan terberat menjadi penyandang hemofilia adalah merasa bersalah karena menjadi beban. Kadang ketika terjadi perdarahan malah diam saja, tetapi itu yang justru lebih berbahaya,” ujar Hafizh Kalamullah (28), seorang penyandang hemofilia A.
Sejak usia 2 tahun, sarjana ilmu komputer ini divonis mengalami hemofilia yakni kelainan akibat kurangnya faktor pembekuan darah.
Kurangnya informasi dan edukasi mengenai hemofilia membuat Hafizh kecil agak terlambat didiagnosis. Menurut cerita ibunya, pada usia 6 bulan sebetulnya sudah ada kecurigaan. Pada saat itu bokongnya mengalami memar dan lebam, tetapi ketika diperiksa dikatakan bukan hemofilia.
“Kebetulan ibu saya lulusan biologi, jadi mengetahui soal genetik dan kakaknya ibu juga mengalami hemofilia. Akhirnya ketahuan kalau saya juga mengalami hal yang sama,” katanya.
Sejak itulah dunia Hafizh berubah. Orang tua menjaga betul agar dia tidak mengalami perdarahan. Hal ini karena pada orang dengan hemofilia perdarahan sangat sulit dihentikan.
Ya, penyandang hemofilia memang sangat rentan akan perdarahan. Apabila terjadi perdarahan, darah tidak membeku sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya aktivitas fisik berat biasanya dihindari agar tidak terjadi perdarahan misalnya karena terjatuh atau kecelakaan. Pun kalau terjadi perdarahan, harus segera ditangani dan diobati.
KROMOSOM X
Sebagian masyarakat awam mengenai hemofilia. Pengetahuan tentang penyakit ini juga tidak sebesar penyakit lainnya. Padahal, penyandang hemofilia di Indonesia sebetulnya tidak sedikit. Secara teori data global terhadap sekitar 20.000—25.000 penderita hemofilia di Indonesia.
Penyakit ini diturunkan dari ibu terkait kelainan kromosom X yang mengakibatkan terjadinya kelainan faktor pembeku darah yang diperlukan dalam penutupan luka.
Apabila seseorang mengalami kekurangan faktor pembeku ini dalam darah maka perdarahan akan terjadi sangat lama dan sulit berhenti.
Hemofilia ada dua jenis yaitu hemofilia A dan hemofilia B. Orang dengan hemofilia A adalah mereka yang kekurangan faktor pembekuan VIII dan hemofilia B kekurangan faktor pembekuan IX. Kedua jenis hemofilia ini sama-sama menimbulkan gejala seperti perdarahan yang sulit berhenti, memar, dan nyeri.
Laki-laki hanya memiliki satu kromosom X sehingga menyebabkan kaum pria lebih rentan terhadap hemofilia. Perempuan hanya menjadi pembawa gen hemofilia di salah satu kromosom X sehingga dapat mewariskannya kepada anak laki-laki.
“Sebanyak 70% kasus hemofilia adalah karena keturunan dan 30% lagi karena mutasi gen,” ujar ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Djajadiman Gatot.
Menurut dokter spesialis anak ini kejadian hemofilia tidak dapat diprediksi. Kelainan kromosom yang terjadi juga tidak bisa diperbaiki sehingga hemofilia tidak dapat sembuh total, tetapi bisa dikendalikan dan ditekan gejalanya.
Pengobatan juga dilakukan seumur hidup karena penderita hemofilia akan mengidap kelainan ini seumur hidupnya.
Perdarahan bisa terjadi di semua organ tubuh penderita hemofilia, tetapi paling rentan adalah sendi dan otot. Perdarahan juga tidak selalu tampak nyata karena terjadi di dalam tubuh.
Penyebab perdarahan bisa saja beragam, misalnya benturan, kecelakaan, atau jatuh. Akan tetapi perdarahan bisa juga terjadi sewaktu-waktu tanpa sebab alias perdarahan spontan. Penderita hemofilia berat umumnya sering mengalami perdarahan spontan.
Kejadian perdaharan bisa dialami sejak bayi belajar berjalan karena lebih banyak pergerakan dan aktivitas. Kebanyakan yang terjadi adalah perdarahan sendi. Jenis perdarahan ini terjadi apabila pembuluh darah kapiler pada synovium terluka. Hal ini karena lambat membeku perdarahan menyebabkan persendian bengkak dan nyeri.
Biasanya penderita hemofilia akan menyadari perdarahan sendi dalam tubuhnya ditandai rasa hangat dan tidak biasa pada area perdarahan. Hal ini dapat menimbulkan bagian yang berdarah sulit untuk digerakkan karena bagian itu menjadi kaku. Sendi yang rentan perdarahan adalah mata kaki, lutut, dan siku.
Masalahnya perdarahan yang terjadi berulang kali dapat menyebabkan area perdarahan itu makin rapuh dan rentan berdarah. Timbunan darah dalam rongga sendi bisa menyebabkan terhentinya produksi cairan sinoval yang berfungsi sebagai pelumas gerakan sendi. Inilah yang membuat lama kelamaan terjadi kerusakan tulang rawan, sendi menjadi kaku, dan tidak dapat digerakkan.
Sementara itu, perdarahan otot bisa terjadi karena pembuluh darah kapiler pada jaringan otot terluka. Pada kondisi ini otot terasa kaku, sakit, dan bengkak.
Area yang mengalami perdarahan juga memar. Perdarahan ini sering terjadi di betis, paha, dan lengan atas. Apabila perdarahan otot berulang maka otot menjadi lemah, timbul jaringan parut, dan otot memendek. Jika saraf turut rusak bisa terjadi kecacatan.
Itulah sebabnya pasien hemofilia harus menjaga betul agar tidak terjadi perdarahan. Apabila terjadi harus segera diatasi agar proses pemulihan menjadi lebih cepat dan hal-hal yang tidak diinginkan tidak perlu terjadi.
Penanganan hemofilia sejauh ini adalah dengan pengobatan yakni pemberian faktor pembeku darah melalui suntikan. Penyuntikan dianggap lebih simpel dari penanganan tempo dulu yang harus dilakukan dengan transfusi.
GEJALA HEMOFILIA
Ketua Unit Kerja Hematologi dan Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Bambang Sudarmanto mengatakan bahwa gejala hemofilia memang harus diwaspadai sejak dini.
"Waspada pertama ketika bayi baru lahir, hemofilia ditandai dengan adanya benjolan di kepala atau ketika kita memotong tali pusar berdarahnya lama sekali," ujarnya.
Bambang menambahkan pada anak gejala hemofilia yang kentara adalah terjadinya memar di siku, lutut, atau bokong ketika dia mulai belajar berjalan.
Djajadiman juga menganjurkan untuk melakukan penelurusan riwayat keluarga. “Apakah ada anak lain yang memiliki gejala serupa? Apakah riwayat penyakit yang sama juga diderita saudara kandung, orang tua, atau kerabat dekat lainnya?” katanya.
Apabila ada tanda-tanda hemofilia tersebut sebaiknya langsung dilakukan pemeriksaan di rumah sakit. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendeteksi gangguan perdarahan. Pemeriksaan faktor pembeku darah juga bisa dilakukan.
Akan tetapi, wakil ketua HMHI bidang medis Novie Amelia Chozie mengatakan, sampai saat ini pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan faktor pembekuan darah untuk mendiagnosis hemofilia belum tersebar merata di Indonesia, bahkan di rumah sakit rujukan tingkat provinsi sekalipun.
Masyarakat juga sebaiknya dapat memahami kondisi penderita hemofilia dan menerima mereka sebagai sesama manusia. Jangan mengucilkan dan memangkas hak hidup berkualitas para penderita hemofilia.