Bisnis.com, JAKARTA - Ilmuwan terbesar pada abad ke-20 Albert Einstein pernah mengatakan bahwa: "Jika Anda ingin anak-anak menjadi cerdas bacakan dongeng untuk mereka, jika Anda ingin mereka lebih pintar lagi bacakanlah lebih banyak dongeng."
Tantangan keluarga masa kini makin beragam. Teknologi menawarkan dunia tak terbatas untuk dijelajahi seiring dengan zaman yang melaju begitu cepat. Mau tidak mau keluarga harus selaras dengan kemajuan zaman yang menuntut kemampuan dan keterampilan di segala bidang.
Anak-anak harus disiapkan sejak dini untuk memiliki kecakapan multiliterasi yakni baca-tulis, numerasi, sains, finansial, dan budaya-kewargaan agar mereka bisa menghadapi dunia masa kini dan masa depan dengan maksimal.
“Tetapi poin penting yang harus diutamakan dalam menciptakan budaya multiliterasi adalah membaca dan menulis, yang kemudian dilanjutkan numerasi,” ujar Psikolog Anak dan Remaja Monica Sulistiawati dari Personal Growth, di Jakarta.
Baca-tulis dan numerasi adalah pintu pembuka dan penentu seseorang dapat memahami bidang dan keterampilan lainnya. Kemampuan literasi berkolerasi positif dengan kecerdasan akademik dan bahasa, fleksibilitas berpikir, kemampuan berpikir kritis, keluasan wawasan, kreativitas, dan kemampuan sosial-komunikasi yang mendukung kesuksesan di bidang lainnya.
Untuk menciptakan keluarga yang melek literasi harus bermula dari kesadaran pribadi orang tua. Menurut laporan The National Center for Education Statistics (NCES) Amerika Serikat, minat literasi anak-anak dapat ditelusuri melalui pengalaman literasi orang tuanya di masa lalu.
Peran Orangtua
Ketika orangtua merasa tidak nyaman dengan kegiatan membaca sejak awal kehidupannya, mereka juga cenderung tidak membacakan buku untuk anak-anaknya. Artinya tanpa orangtua yang memahami pentingnya literasi, tidak akan tercipta budaya literasi dalam keluarga.
“Budaya literasi berawal dari minat individual dan motivasi internal, bukan sesuatu yang bisa berkembang sendiri,” kata Monica.
Sementara, pada anak-anak minat literasi dapat tumbuh apabila mereka diberikan contoh konkret dan praktis dan terlibat dalam aktivitas literasi sejak dini. Anak-anak akan merasakan kenikmatan dan ketertarikan lebih lanjut terhadap kegiatan membaca, menulis, menghitung, serta kecakapan literasi lainnya sejak dini.
Monica mengatakan bahwa pembentukan generasi cinta baca dapat dilakukan sedini mungkin, bahkan dapat dimulai dari usia 0 tahun dengan cara mendongeng. Nanti, setelah anak berusia 6 bulan, orang tua mulai dapat melangkah dengan memberikan anak soft book yang tidak mudah robek untuk bermain. Buku jenis ini biasanya memiliki gambar berwarna sehingga anak lebih tertarik.
“Pada usia 1 tahun, orang tua mulai dapat membacakan buku cerita bergambar yang menarik, dengan tekstur halaman yang beragam dan berwarna sehingga anak tertarik untuk menyentuh, meraba, dan merasakan sendiri gambar atau cerita itu,” ujar Monica lagi.
Usia Setahun
Dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita Jakarta, Lucia Nauli Simbolon mengatakan bahwa pada usia 1 tahun, anak akan mulai belajar berbicara. Pada masa ini anak pada umumnya senang menunjuk benda.
Inilah saat yang tepat untuk mengajak anak membaca dan memperkenalkan benda yang ditunjuknya.
“Pada usia 0-2 tahun, anak itu sangat mampu menangkap isi cerita yang dibacakan, asalkan orangtua konsisten,” ujarnya.
Dia menganjurkan agar orang tua secara rutin membacakan buku dengan satu bahasa terlebih dahulu agar anak tidak bingung. Orangtua juga tidak perlu menargetkan anak bisa membaca di usia yang masih sangat belia.
Sekalipun orangtua sangat bersemangat menciptakan budaya literasi pada diri anak, bukan berarti membaca adalah sebuah paksaan. Lucia menyarankan agar suasana membaca pada usia dini itu menjadi kegiatan yang menyenangkan.
“Karena pada masa ini mereka masih mengenal gambar, walau memang beberapa anak yang daya tangkapnya lebih biasanya bisa mengenal huruf juga,” katanya.
Dukungan Sekitar
Persoalan yang sering muncul dalam membangun budaya literasi dalam keluarga justru sering kali berasal dari orang sekitar. Padahal lingkungan sangat mempengaruhi terbentuknya budaya literasi.
Monica mengatakan bahwa lingkungan yang tidak memahami pentingnya budaya literasi biasanya menjadi penghambat kemajuan literasi keluarga. Hal ini juga yang membuat banyak anak-anak lebih senang bermain dengan gawai ketimbang membaca.
“Pengalaman saya bahkan ada beberapa orang tua yang justru panik ketika melihat anaknya memiliki minat membaca yang tinggi, karena dianggap tidak memiliki waktu untuk kegiatan lain,” kata Monica.
Justru pemahaman orang tua atau lingkungan sekitar yang perlu diluruskan mengenai pentingnya budaya literasi. Menurutnya inilah salah satu penyebab mengapa hingga saat ini budaya literasi di Indonesia masih sangat rendah.
Pengenalan orang tua akan anak-anak juga perlu ditingkatkan dengan cara menggali dan memahami cita-cita dan impian anak. Salah satu caranya adalah dengan memancing rasa ingin tahu anak dengan menantang cara berpikirnya terkait cita-cita, impian, alam semesta, lingkungan sekitar, dan ilmu pengetahuan lainnya.
“Makin tinggi rasa ingin tahu anak, dia akan berusaha untuk memenuhi rasa ingin tahu itu dengan berbagai cara termasuk kegiatan literasi,” ujar Monica lagi.
Anak dengan kecakapan literasi yang baik pasti berbeda dengan mereka yang tidak diperlengkapi sejak dini. Perbedaannya sangat kentara karena mereka pada umumnya lebih mampu mengungkapkan gagasan secara lisan maupun tulisan dengan jelas dan sistematis.
Anak yang tumbuh dalam budaya literasi juga cenderung berwawasan luas dan fleksibel. Dia mampu berkomunikasi 2 arah dengan orang lain dan lawan bicaranya juga senang berbicara dengannya.
Intinya, kecakapan multiliterasi akan membawa kebaikan dan keberuntungan besar dalam hidup seseorang. Silakan buktikan sendiri dengan memulainya dari diri sendiri.