Ilustrasi/pixabay.com
Health

Menahan Laju Pengisap Asap Tembakau

Reni Lestari
Minggu, 24 November 2019 - 12:17
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Dua tahun lalu Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) merilis sebuah laporan mencengangkan tentang konsumsi rokok. WHO memperkirakan pada 2030 sepertiga manusia di dunia akan meninggal karena rokok.

Angka kematian akibat tembakau diproyeksikan meningkat dari 6 juta kematian per tahun menjadi 8 juta per tahun pada 2030 dengan lebih dari 80 persen terjadi di negara berpendapatan rendah. Rokok juga diperkirakan membakar uang lebih dari US $1 triliun per tahun untuk perawatan kesehatan.

Di Indonesia, persentase perokok anak di bawah usia 18 tahun terus meningkat dari 7,2 persen pada 2009 menjadi 9,1 persen pada 2018. Salah satu penyebabnya adalah harga rokok yang masih terjangkau bahkan untuk anak-anak.

Cigarette Affordability Index

Berdasarkan perhitungan Cigarette Affordability Index (CAI) pada 2016, harga rokok di Indonesia 1,5 kali lebih terjangkau dibandingkan 2002.

Kenaikan tarif cukai sejak tahun 2014 tidak cukup efektif untuk mengurangi keterjangkauan rokok. Selain itu, rumitnya struktur cukai juga melemahkan efektivitas cukai sebagai pengendali konsumsi.

Menjelang 2020, terbit harapan baru untuk menahan laju perokok di Indonesia dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan No. 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai, mulai awal tahun depan. 

Sebulan sebelum PMK tersebut ditandatangani, Kementerian Keuangan telah mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 23 persen.

Dominasi SKM 1

Studi terbaru Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) menyatakan, kenaikan harga rokok pada kelompok ekonomi rendah tidak menyebabkan penggantian merek rokok dan tidak berpengaruh pada beban ekonomi yang sudah ada pada kelompok ini.

Penyebabnya kelompok ini memiliki pilihan terbatas terhadap merek rokok yang mereka konsumsi, sehingga menaikkan harga rokok akan mendukung kelompok miskin untuk mengurangi atau bahkan berhenti merokok.

Mikrosimulasi ini juga menemukan peningkatan cukai dan harga rokok terhadap golongan Sigaret Kretek Mesin 1 (SKM1) akan memiliki dampak terbesar terhadap peningkatan pendapatan dan pengurangan konsumsi rokok di Indonesia.

Lebih lanjut ditemukan bahwa rokok golongan SKM1 adalah yang paling mendominasi pasar di Indonesia. Kenaikan harga di golongan ini sebesar 35 persen diperkirakan akan mengurangi konsumsi rokok sebesar 10 persen dan akan meningkatkan pendapatan negara sebesar 10 persen.

Studi ini menganalisa tiga jenis rokok yang mendominasi pasar di Indonesia, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Produk Tidak Elastis

Mikrosimulasi yang dilakukan mengindikasikan rokok adalah produk yang tidak elastis, yang membuat konsumsi akan berkurang seiring dengan kenaikan cukai rokok.

Misalnya, kenaikan harga sebesar 10 persen dari golongan SKM1 akan mengurangi konsumsi sebanyak 5,23 persen, namun meningkatkan konsumsi golongan SKT1A sebesar 2,69 persen, golongan SKT1B sebesar 3,67 persen dan golongan SPM 1 sebesar 0,003 persen.

Meski kenaikan tarif tersebut adalah yang tertinggi sepanjang sejarah cukai di Indonesia, di sisi lain peta jalan penyederhanaan golongan cukai rokok yang sempat disahkan pada 2017 dan dihapuskan 1 tahun setelahnya, belum dikembalikan dalam regulasi terbaru ini.

Yurdhina Meilissa, Policy & Planning Specialist CISDI mengatakan, berdasarkan PMK 146/2017 ditegaskan akan mulai menyederhanakan golongan tarif cukai secara bertahap yaitu 10 golongan pada 2018, 8 golongan pada 2019, 6 golongan pada 2020, dan 5 golongan pada 2021.

"CISDI sangat menyesali simplifikasi tier cukai rokok tidak dilaksanakan. Bagi kami, kenaikan cukai rokok dan simplifikasi tier cukai rokok adalah kebijakan yang satu paket," katanya.

Dia melanjutkan, masyarakat tidak bisa mengharapkan penurunan konsumsi dengan kenaikan cukai rokok saja. Hanya dengan simplifikasi tier cukai rokok, lanjutnya, prevalensi perokok bisa ditekan.

Prevalensi Naik

Kajian Pusat Kajian Jaminan Sosial, Universitas Indonesia, menunjukkan telah terjadi kenaikan prevalensi perokok di kalangan masyarakat berpengeluaran rendah. Dari hasil mikorsimulasi yang dilakukan CISDI, jika simplifikasi dijalankan, maka kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah akan terbantu untuk berhenti merokok.

Menanggapi hal itu, Sunaryo, Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Dasar, Ditjen Bea Cukai Kemenkeu mengatakan, saat ini yang perlu dilakukan adalah memantau bagaimana dampak kenaikan cukai terhadap penurunan produksi rokok.

Dia mengakui bahwa pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak simplifikasi yang diberlakukan. Simplifikasi memang dapat menjadi alat pengendalian konsumsi rokok.

"Namun dampak yang muncul salah satunya adalah oligopoli industri besar terhadap industri rokok kecil," katanya.

Widya Kartika, Peneliti Perkumpulan Prakarsa menambahkan, tahun lalu pihaknya melakukan studi uji pendekatan konsumen kepada 1.440 perokok di 6 daerah di Indonesia. Hasilnya menunjukkan, jika harga rokok dinaikkan 50 persen, maka efektif untuk menurunkan sebesar 12 persen perokok. Selain itu sekitar 36 persen akan mengurangi konsumsinya.

Sedangkan jika harga rokok naik 100 persen, akan menurunkan prevalensi sebesar 31 persen. Ini juga didukung oleh studi-studi global yang dilakukan. Jika cukai dan pajak rokok naik sebesar 10 persen per tahun maka efektif mengurangi jumlah konsumsi rokok 2 hingga 3 persen per tahun.

"Hasil penelitian kami juga menemukan bahwa jumlah konsumsi rokok ilegal sangat kecil, hanya 20 orang responden. Sehingga pendapatan cukai rokok naik, konsumsi rokok ilegal akan tinggi hanyalah mitos yang dibawa oleh industri," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Editor : Saeno
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro