Bisnis.com, JAKARTA - Pembicaraan soal rokok tak bisa dilepaskan dari dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kesehatan masyarakat. Berbagai negara dan organisasi global terus mendorong upaya penekanan angka perokok aktif di seluruh dunia.
Laporan terbaru dari World Health Organization (WHO) yang dirilis pada akhir 2019 menyebut bahwa selama hampir dua dekade terakhir, keseluruhan penggunaan tembakau (rokok, cerutu, rokok kretek) global telah mengalami penurunan.
Pada 2000 angka yang tercatat adalah 1,397 miliar orang di seluruh dunia sementara pada 2018 angkanya berkurang menjadi 1,337 miliar. Artinya dalam hampir 20 tahun terakhir, jumlah pengguna tembakau atau perokok telah turun sekitar 60 juta orang di dunia.
WHO mencatat, penurunan ini terjadi karena didorong oleh pengurangan jumlah perempuan yang mengonsumsi produk-produk ini. Angka perokok perempuan turun dari 346 juta orang pada 2020 menjadi 244 juta orang pada 2018.
Pada periode yang sama, angka penggunaan tembakau pada laki-laki telah meningkat dari 1,050 miliar orang pada 2000 menjadi 1,093 miliar orang pada 2018, atau naik sekitar 40 juta orang.
Namun demikian, laporan tersebut juga menyatakan bahwa perokok laki-laki telah berhenti bertumbuh dan diproyeksikan bakal menurun lebih dari 1 juta orang pada 2020 menjadi 1,091 miliar. Bahkan, angkanya diprediksi terus menurun sebesar 5 juta orang pada 2025 mendatang atau menjadi 1,087 miliar orang.
“Pengurangan penggunaan tembakau global menunjukkan bahwa bila pemerintah berupaya memperkuat tindakan berbasis bukti komprehensif, mereka dapat melindungi kesejahteraan warga dan komunitas mereka,” kata Ruediger Krech, Director of Health Promotion WHO dalam situs resminya.
Akan tetapi, kemajuan dalam memenuhi target global yang ditetapkan untuk mengurangi perokok sebesar 30% pada 2025 tetap berada di luar jalur. Berdasarkan kemajuan saat ini, target itu hanya akan terpenuhi sebesar 23% dari tenggat waktu yang ditetapkan.
Perokok Remaja Meningkat
Namun bagaimana pun, kendati secara perlahan, angka penggunaan tembakau di tingkat global telah menunjukkan tren penurunan. Lantas bagaimana dengan kondisi di dalam negeri?
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) dan survei indikator kesehatan nasional (Sirkesnas), angka prevalensi konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) pada penduduk usia 15 tahun keatas di Indonesia mengalami fluktuasi.
Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi sebesar 36,3% lalu turun pada Sirkesnas 2016 menjadi 32,8% dan kembali naik pada Riskesdas 2018 menjadi 33,8%. Secara umum, angkanya memang mengalami penurunan pada 2018 dibandingkan dengan lima tahun lalu.
Sayangnya, tren penurunan ini tidak berlaku pada angka prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun yang justru terus meningkat. Pada rentang usia tersebut, angkanya naik dari 7,2% pada Riskesdas 2013 ke 8,8% pada Sirkesnas 2016 dan naik lagi jadi 9,1% pada Riskesdas 2018.
Terkait hal ini, pemerintah bukannya lepas tangan. Lembaga yang terkait telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan berbagai upaya untuk menekan angka perokok di Tanah Air.
Beberapa aturan yang telah berjalan misalnya penerapan peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warnings) pada bungkus rokok. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012.
Ada juga aturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dalam aturan tersebut, pemerintah daerah diwajibkan untuk menetapkan KTR di wilahnya masing-masing melalui peraturan daerah (perda) atau aturan setingkat daerah lainnya.
KTR meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat Ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan.
Staf Pengajar Dept. Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RSUP Persahabatan, Feni Fitriani Taufik, mengatakan pemerintah memang telah melakukan upaya dalam rangka mengurangi jumlah perokok aktif, tetapi langkah yang dilakukan masih belum optimal.
Dia mencontohkan aturan tentang KTR yang masih minim sosialisasi dan implementasinya di lapangan, “Kalau kita lihat misalnya, angkutan umum itu kan masuk KTR, tapi masih banyak yang merokok disana. Begitu juga dengan bandara,” katanya.
Feni juga mengatakan bahwa harga rokok di Indonesia termasuk sangat murah, alhasil banyak anak-anak remaja bahkan di bawah umur yang mampu membeli dan memakai produk tersebut.
Terkait hal ini, Ketua Indonesia Bebas TAR Ariyo Bimmo menambahkan bahwa salah satu isu terkait adalah mudahnya akses membeli produk tembakau. Menurutnya, bahkan anak di bawah umur saat ini bisa membeli rokok dengan sangat mudah.
Padahal, seharusnya hal tersebut tidak diperbolehkan untuk mengurangi risiko terhadap generasi muda dalam negeri, “Harus ada aturan jelas yang mengatur pembelian produk tembakau hanya diperbolehkan untuk penduduk dengan batas usia tertentu dan harus diawasi dengan ketat” katanya.
Adapun, keduanya berharap kenaikan harga jual rokok yang efektif berlaku pada 1 Januari tahun ini bisa menekan jumlah pengguna rokok di Indonesia. Selain itu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan terkait hal itu, yang utamanya adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Feni, yang juga merupakan Ketua Tim Klinik Berhenti Merokok di RSUP Persahabatan berharap pemerintah melalui layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa mencakupi layanan berhenti merokok yang ada di puskesmas.
Menurutnya, hal ini bisa menjadi langkah penting untuk memberikan layanan yang tepat secara medis bagi perokok yang ingin berhenti. Sekaligus juga menjadi edukasi bagi orang terdekatnya dan masyarakat luas.
Dia juga mengimbau bahwa persoalan ini merupakan masalah bersama yang harus diatas bersama-sama. Baik oleh pemerintah, masyarakatnya sendiri, dan organisasi atau lembaga lain terkait, “Perlu ada kerja bareng, mulai dari edukasi mulai dari anak-anak hingga penerapan kebijakan yang tepat sehingga kesehatan masyarakat kita bisa terjamin,” ujarnya.