Bisnis.com, JAKARTA – Virus Corona atau Covid-19 memang bisa berhenti dengan sendirinya jika daya tahan tubuh atau antibodi seseorang cukup kuat.
Sementara daya tahan tubuh yang kuat hanya bisa terwujud dengan rasa bahagia bukan kecemasan.
Dalam jurnal Konsorisum Psikologi Ilmiah Nusantara, Patmawaty Taibe dari Universitas Bosowa dan Central China Normal University menyatakan, pada saat Wuhan terjangkit Covid-19 sedang terjadi akhir musim dingin dengan cuaca yang dingin. Tak mengherankan jika penduduk lebih rentan mengalami batuk, flu, dan demam.
“Namun dengan adanya virus corona membuat gejala-gejala tersebut tiba-tiba menjadi menakutkan, kami yang dulunya saat terkena flu di musim dingin hanya minum tolak angin, tidur yang cukup dan minum air panas menjadi obat yang mujarab, namun kali ini tidak,” tulis Patmawaty dikutip Bisnis.com pada Senin (30/3/2020).
Alhasil sejak saat itu penduduk Wuhan lebih rajin dan disiplin. Setiap hari masyarakat biasa mengukur suhu tubuh, mencuci tangan berkali-kali, bahkan mencuci tangan setelah menyentuh benda apapun menjadi paranoid dengan penularan wabah COVID-19.
“Kami tidak berani untuk keluar dari Apartemen, kami takut bertemu dengan manusia lainnya,” tuturnya.
Sebagai mahasiswa perantauan, Patmawaty dan mahasiswa Indonesia di Wuhan pun memikirkan keluarga yang jauh. Mereka mulai diruncung kekhawatiran dan ketakutan terpapar virus. Kondisi ini membuat beban psikologis lebih parah ketika memikirkan keluarga yang juga panik di Tanah Air.
Dia mengakui menghadapi pandemik COVID-19 memang menakutkan. Selain karena masa inkubasi yang cukup lama dengan gejala-gejala yang identik dengan penyakit flu biasa, virus ini sulit untuk dideteksi secara manual.
“Satu-satunya yang membuat kita yakin adalah ketika gejala tersebut disertai demam tinggi dan sesak nafas atau ketika kita mendapatkan hasil uji lab yang menyatakan positif COVID-19,” tuturnya.
Oleh sebab itu perlu sejumlah hal yang direfleksikan oleh Patmawaty selama di Wuhan penting dipersiapkan jika pemerintah dan masyarakat siap melakukan lockdown.
Peran Pemerintah dalam Kejelasan Informasi
Dia menjelaskan salah satu hal penting adalah informasi yang jelas dari pemerintah. Misalnya pemerintah China jelas dan informatif melalui pesan berantai yang dikirim melalui nomer ponsel masing-masing penduduk. Isinya mengenai imbauan untuk peningkatan perilaku bersih, pembagian thermometer, masker, dan sabun pencuci tangan, serta jurnal kondisi suhu tubuh setiap mahasiswa yang harus dilaporkan ke pihak otoritas kampus.
“Informasi yang terpusat dari pemerintah melalui otoritas kampus dan koordinasi dengan KBRI secara tidak langsung membuat kami merasa aman,” ceritanya.
Dia mengenang, saat itu dia juga harus menjawab wawancara media dan mengabarkan mengenai kondisi kami di Wuhan kepada TV di Tanah air. Hal ini dilakukan untuk membantu memberikan gambaran mengenai kondisi lockdown yang seringkali dikatakan sebagai isolasi.
“Pada minggu pertama kami tidak merasakan isolasi tapi lebih kepada mengurangi aktivitas diluar rumah, saat itu saya masih bisa keluar masuk dormitory dan belanja kebutuhan pokok di beberapa toko yang masih buka,” tuturnya.
Lockdown yang Patmwaty dan sejumlah mahasiswa alami adalah tertutupnya transportasi publik, perkantoran, pabrik, sekolah dan universitas ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan.
Walau demikian dimasa-masa puncaknya pandemic ini seluruh warga tidak dapat keluar dari tempat tinggal, demikian halnya mahasiswa yang tinggal di asrama. Mahasiswa disediakan makanan tiga kali sehari dan untuk warga yang tinggal di apartemen secara bergiliran bertugas berbelanja kebutuhan pokok yang dikoordinir oleh pemerintah setempat, penggunaan uang tunai ditiadakan seluruh pembayaran menggunakan e-money.
Oleh sebab itu Tampak jelas bahwa informasi satu pintu merupakan salah satu cara yang bisa dilaksanakan untuk mengurangi kepanikan masyarakat atas kesimpang-siuran berita yang ada. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengatasi kepanikan yang bersifat massif di masyarakat.
Social Distancing dan Perilaku hidup bersih
Berdasarkan kajian dari Doremalen, dkk (2020) menemukan hasil eksperimen kestabilan HCoV-19 pada permukaan memperlihatkan permukaan yang terbuat dari bahan plastic dan stainless steel akan bertahan selama 2 hingga 3 hari. Berdasarkan data tersebut penyebaran virus COVID-19 sangatlah memungkinkan terjadi ketika perilaku masyarakat tidak bersih.
Oleh sebab itu pembatasan interaksi antar manusia dengan manusia lainnya adalah salah satu cara terbaik untuk menghambat penyebaran wabah ini terjadi.
Menerapkan hidup bersih merupakan hal yang sulit untuk sebagian masyarakat kita, namun Patmawaty memprediksi dengan menyadari virus merupakan partikel kecil yang tidak kasat mata dan bisa berada dimana saja akan membantu meningkatkan kesadaran akan resiko terpapar virus corona.
Tingkatkan Pengetahuan
Patmawaty menyatakan sangat wajar jika sebagian orang mengalami kepanikan dan kondisi cemas akibat lockdown. Dia mengakui hingga saat ini beberapa WNI yang dari Wuhan masih mengalami trauma ketika mendengar ambulans, ataupun ketika merasakan suhu tubuhnya naik. Pemahaman akan virus COVID-19 akan membantu menurangi rasa cemas.
Mengurangi konsumsi informasi mengenai COVID-19.
Patmawaty menjelaskan dalam masa bencana seperti ini masyarkaat perlu bersikap bijak memilih informasi merupakan hal yang penting saat ini. patmawaty mengakui selama masa pandemi dia tidak membaca atau melihat berita-berita yang berada di sosial media.
“Kami memantau perkembangan wabah COVID-19 melalui website terpercaya yakni yang disediakan WHO dan pemerintah China sendiri yakni melalui account weChat atau Alipay,” jelasnya.
Menikmati hal-hal kecil saat berada di rumah
Resilience adalah hal dibutuhkan untuk tetap sehat secara mental di tengah pandemic COVID-19. Resilience adalah kemampuan untuk seseorang menilai, mengatasi, meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan hidup. Saat masa lockdown di Wuhan Patmawaty pun menikmati hal-hal kecil setiap hari. Misalnya, melakukan hobi memasak, dia menyibukkan diri dengan membuat video diary, dan membagi informasi melalui tulisan-tulisan singkat.
Sejumlah proses lain menuju resilience adalah mencoba tetap terkoneksi dengan keluarga dan teman-teman melalui media online, membicarakan hal-hal yang lucu serta berdoa.