Bisnis.com, JAKARTA – Penilaian iklim humanis pada lingkungan ilmu kedokteran sangat penting untuk meningkatkan kualitas tenaga medis.
Dokter Rita Mustika, MEpid baru saja meraih gelar doktor yudisium cum laude di bidang Ilmu Kedokteran dalam Promosi Doktor On-line pertama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Selasa (5/5/2020).
Ketua Klaster Kolaborasi Pendidikan Kedokteran IMERI FKUI ini dinyatakan lulus dalam Sidang Terbuka dengan tesis yang berjudul ‘Penyusunan Instrumen Penilaian Iklim Humanis Lingkungan Pembelajaran Klinik untuk Pengembangan Humanisme dalam Pendidikan Kedokteran’.
Para promotor, yaitu Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, DMF, S.H., M.Si.Sp,F(K). ko-promotor dr. Diantha Soemantri, M.Med.Ed., Ph.D. dan Dr. dr. Wresti Indriatmi, M.Epid., Sp.KK(K). Tim penguji Prof. dr. Marcellus Simadibrata, Sp.PD-KGEH, Ph.D., Dr. E. Kristi Poerwandari, S.Hum., Prof. Dr. dr. David Perdanakusuma, SpBP-RE(K) yang diketuai oleh Prof. Dr. dr. Suhendro, Sp.PD-KPTI.
Desertasi yang dipertahankan peneliti bertujuan menyusun instrumen untuk menilai iklim humanis di lingkungan pembelajaran klinik yang valid dan reliabel, dalam upaya mengoptimalkan pembelajaran humanisme untuk mencapai kompetensi profesionalitas seorang dokter. Rita meyakini dokter yang lebih humanis tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Rita menjelaskan, dari penelitian yang dia lakukan dengan metode campuran kualitatif dan kuantitatif pada lebih dari 200 responden penelitian di Academic Health System FK-UI, ditemukan bahwa pengembangan humanisme dalam pendidikan kedokteran di Indonesia saat ini sangat dibutuhkan.
“Peningkatan persepsi mahasiswa terhadap iklim humanis berhubungan dengan peningkatan capaian kompetensi humanisme. Dengan demikian, pengembangan humanisme dokter harus diawali dengan membangun iklim pembelajaran yang humanis di lingkungan pembelajaran,” ujar Rita, Selasa (5/5/2020).
Iklim inilah yang menurut Rita memengaruhi perilaku mahasiswa, karena dengan berada dalam iklim pembelajaran tertentu mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu pula.
Seperti diketahui, sampai saat ini masyarakat Indonesia masih banyak yang memilih berobat ke luar negeri. Padahal kemampuan dokter di tanah air tidak kalah dengan dokter di luar negeri.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2014 – 2019 menyatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah kurangnya kemampuan komunikasi dalam melayani pasien-pasiennya. Sinyalemen serupa juga ditemukan di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa 47% pasien dan 42% dokter menyatakan pelayanan kesehatan tidak humanis.
Pembelajaran humanisme dalam pendidikan kedokteran seringkali terkalahkan oleh ilmu biomedik dan keterampilan klinis. Pengembangan humanisme dianggap dapat terjadi begitu saja tanpa perlu proses pengajaran, namun saat ini telah disadari pentingnya pengajaran humanisme untuk menjadikan dokter profesional.
Dari temuannya, Rita menjelaskan, penelitian ini dilakukan melalui empat tahap, yaitu; penyusunan instrumen, uji coba, penyusunan model iklim humanis lingkungan pembelajaran klinik, dan implementasi. Tahap penyusunan instrumen meliputi telaah pustaka dan pengambilan data kualitatif melalui focus group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan mahasiswa tahap profesi, dosen klinik dan pengelola pendidikan.
Selanjutnya dilakukan telaah pakar dan wawancara kognitif untuk menilai validitas isi dan struktur instrumen tersebut. Pada studi ini terdapat dua instrumen yang diuji coba yaitu Humanistic Climate Measure (H-CliM) yang dikembangkan di tahap 1 dan Integrity Compassion Altruism Respect Empathy (ICARE). Uji coba dilakukan pada mahasiswa tahap profesi tahun pertama.
“Pengertian iklim pembelajaran humanis adalah lingkungan pembelajaran yang dipersepsi oleh mahasiswa sebagai suatu lingkungan yang memudahkan mereka untuk mengembangkan nilai-nilai humanis di dalam diri mereka. Nilai humanis yang dimaksud adalah kejujuran, integritas, respek, belas kasih (compassion) dan mementingkan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, instrumen penilaian yang digunakan untuk menilai iklim humanis lingkungan pembelajaran klinik adalah H-CliM, sedangkan instrumen yang digunakan untuk menilai kompetensi humanisme adalah ICARE.
Instrumen H-CliM ini merupakan instrumen final yang terdiri dari 46 butir penilaian yang dapat digolongkan ke dalam empat domain yaitu; kurikulum formal-informal terkait humanisme, relasi dan fasilitas yang mendukung humanisme, hidden curriculum, dan pengembangan kepribadian dan profesionalisme.
Domain kurikulum formal-informal berisi butir pertanyaan tentang pencantuman materi humanisme secara eksplisit di dalam kurikulum formal dan pemberian umpan-balik untuk pengembangan humanisme. Domain relasi dan fasilitas berisi butir pertanyaan tentang relasi dan fasilitas yang mendukung pengembangan humanisme, sedangkan domain hidden curriculum menanyakan hal yang menghambat pengembangan humanisme baik dalam hal relasi, fasilitas maupun internal mahasiswa.
“Domain pengembangan kepribadian dan profesionalisme berisi butir pertanyaan tentang komponen internal mahasiswa yang dapat mendukung pengembangan humanisme,” sambung Rita.
Dalam menguraikan simpulan desertasinya, ia menguraikan, hasil analisis ini menunjukkan bahwa peningkatan persepsi mahasiswa terhadap iklim humanis berhubungan dengan peningkatan capaian kompetensi humanisme.
Korelasi lemah kemungkinan disebabkan adanya faktor lain di luar iklim lingkungan pembelajaran yang memengaruhi capaian kompetensi humanisme yang ditunjukkan dari penilaian menggunakan ICARE pada penelitian ini. Pengembangan kompetensi humanisme memerlukan proses sosialisasi yang cukup panjang, dengan demikian durasi paparan iklim humanis suatu lingkungan pembelajaran juga dapat berpengaruh.
“Dengan hasil penelitian ini, saya mengusulkan untuk menggunakan instrumen H-CliM dan ICARE yang telah divalidasi di dalam penelitian ini untuk melakukan evaluasi kurikulum terutama dalam pembelajaran humanisme dan profesionalisme,” tutupnya.