Bisnis.com, JAKARTA - Perjalanan hidup di dunia selalu disertai suka, duka dan kekosongan yang silih berganti. Namun, apakah akhir-akhir ini sedang merasakan ada dalam fase hidup tak berarti?
Apakah Anda sedang merasakan bahwa hidup tak berguna? Bahkan ada beberapa orang yang merasa tidak nyaman karena tidak merasakan hidup tidak berarti. Apa yang salah dengan mereka?
Mengapa Anda merasakan hidup tidak berarti seperti orang lain? Apakah Anda sedang merasakan kekosongan atau sedang terpuruk? Atau mungkin tidak autentik?
Dalam buku Victor Frankl yang terkenal, Man's Search for Meaning, bagian yang disebut "The Existential Vacuum" mengklaim bahwa "kekosongan eksistensial adalah fenomena luas abad kedua puluh" (hlm. 128). Frankl menjelaskan mengapa kekosongan ini muncul: Pada abad ke-20, orang-orang tidak lagi mengandalkan tradisi dan insting mereka.
Orang-orang sering membahas kekosongan eksistensial yang tersebar luas, perasaan tidak berarti yang ada di mana-mana, kekosongan eksistensial yang lazim, krisis eksistensial yang merajalela.
Bukti Frankl untuk klaim bahwa "kekosongan eksistensial adalah fenomena luas" adalah survei statistik yang menunjukkan 25 persen siswa Eropa dan 60 persen siswa Amerikanya menunjukkan tingkat kekosongan eksistensial yang tidak diketahui.
Sayangnya, Frankl tidak mencatat bahwa kekosongan eksistensial muncul karena adanya rasa ingin belajar bersamanya, bagaimana mengatasi ketidakberartian hidup?
Mengutip dari Psychology Today, Rabu (17/6/2020), penelitian empiris menunjukkan bahwa fenomena tersebut mungkin kurang umum. Samantha J. Heintzelman dan Laura A. King dari University of Missouri juga mengkaji banyak studi empiris tentang munculnya perasaan yang tidak berarti dalam hidup.
Kesimpulan mereka, yang tercermin dalam judul makalah mereka, adalah bahwa perasaan tidak berarti sama sekali tidak lazim. Mereka memberi judul pada makalah yakni judul Hidup itu Cukup Berarti.