Bisnis.com, JAKARTA - Punggung David tiba-tiba terasa pegal. Suhu tubuh meningkat, padahal matahari sedang terik-teriknya. Baginya, ini aneh. Sontak, dia bergegas ke rumah sakit untuk berobat.
Pandemi Covid-19 ini membuatnya khawatir bila tubuh mengalami demam dan pegal. Dokter menyarankan David melakukan tes rapid dan diperoleh hasil negatif dari virus Corona (Covid-19). Diagnosa yang muncul adalah pengentalan darah. Rasa syukur muncul dalam hatinya, karena tidak terinfeksi Covid-19.
Ada dua jenis obat dikantongi, pereda panas dan antivirus. Namun, setelah dua hari mengonsumsi obat tersebut, punggungnya tetap pegal dan suhu tubuh belum normal.
Dia pun memutuskan untuk berobat rumah sakit lain yakni RS Mitra Keluarga Bekasi, pemeriksaan dilakukan IGD. Lagi, tangan kanannya kembali ditusuk jarum dan perawat mencari pembuluh vena untuk mendeteksi penyakit yang dirasakan oleh David.
Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan dokter. Diagnosa dari tes darah adalah penurunan trombosit. Demi pemulihan yang lebih cepat, maka rawat inap menjadi pilihan David.
Setelah dirawat semalam, dokter melihat David beberapa kali berdehem, meskipun tidak sedang batuk. Muncul tafsir baru dari tim medis bahwa paru-parunya sedang tidak sehat dan David disarankan untuk melakukan CT Scan.
"Gambar paru-paru saya banyak embun. Embunnya ada di pinggir paru-paru seperti menyelimuti, bukan di tengah-tengah. Lalu tes swab langsung dilakukan, tetapi saya masih optimistis tidak terinfeksi Covid-19," ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (5/8/2020).
Bak petir di siang bolong, hasil tes menunjukan kalau dirinya positif Covid-19. Dia sendiri masih sangsi. Sebab selama pandemi Covid-19, aktivitas di luar rumah masih sangat jarang dilakukan. Berkendara motor tetap memakai masker, termasuk saat membeli makanan untuk makan siangnya. Jadwal keluar rumah juga diatur sejarang mungkin. Misalnya hari ini keluar rumah, besok dan lusa berdiam diri di dalam rumah.
Begitu juga saat hendak berbincang dengan orang lain. David yang berprofesi sebagai jurnalis, selalu melakukan 3M yakni mencuci tangan, mengenakan masker dan menjaga jarak. Entah darimana asal virus Covid-19 tersebut menyelimuti paru-paru, benak David masih penuh dengan tanda tanya.
Dokter yang merawat David mengungkapkan virus Covid-19 masuk ke paru-paru karena gaya hidup yang kurang sehat. Namun, dia merasa sudah mengonsumsi makanan mengandung vitamin dan protein untuk kebutuhan jasmaninya. Lantas, pria berusia 30 tahun tersebut melakukan kontemplasi dan mengingat masa lalunya.
Aneka ingatan muncul dalam benaknya. Tidur menggunakan kipas angin setiap malam. Naik motor tanpa menggunakan body protector. Serta menghisap rokok sejak duduk di bangku SMA. Kebiasaan ini menjadi celah kecil, menyusupnya virus tersebut ke tubuh David saat sedang kurang sehat.
Keterangan | Jumlah Pasien Sakit | Jumlah Pasien Sembuh | Jumlah Pasien Meninggal |
2 Maret | 2 | 0 | 0 |
31 Maret | 1.528 | 81 | 136 |
30 April | 10.118 | 1.522 | 792 |
31 Mei | 26.473 | 7.308 | 1.613 |
30 Juni | 56.385 | 24.806 | 2.876 |
31 Juli | 108.376 | 65.907 | 5.131 |
31 Agustus | 174.796 | 125.959 | 7.417 |
Sumber: Data Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes RI
Sementara, fakta yang selalu dibicarakan selama pandemi Covid-19 yakni perihal mantan perokok dan perokok yang lebih rentan terinfeksi virus tersebut. Mengutip Chinese Medical Journal yang dilakukan oleh 14 peneliti dan tenaga kesehatan, diperoleh hasil bahwa mantan perokok dan perokok aktif 14 kali lebih mungkin terinfeksi Covid-19 daripada yang tidak merokok.
Hasil jurnal tersebut diperoleh dari survei yang dilakukan pada 78 pasien Covid-19.Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 juga mengumandangkan Chinese Medical Journal atau Jurnal Medis China untuk untuk meningkatkan kesadaran perokok guna menekan jumlah pasien yang terinfeksi virus.
Dalam jurnal itu, ada 78 pasien yang dirawat di rumah sakit di Provinsi Wuhan di China pada hari-hari awal wabah virus Corona.
Setelah dua minggu, 67 dari 78 pasien membaik atau stabil sementara 11 memburuk dan mencatatkan penyakit yang lebih serius. Dalam riset sebanyak 27 persen kondisi pasien yang memburuk yakni perokok dan mantan perokok. Hanya ada tiga persen pasien perokok dan mantan perokok yang kondisinya bisa membaik.
Atas dasar ini, para peneliti mengatakan bahwa orang yang merokok 14 kali lebih berisiko dibandingkan yang bukan perokok. Selain peneliti di China, ada juga penelitian di Prancis yang mengambil sampel 480 orang dan menemukan lebih sedikit perokok masuk rumah sakit karena terinfeksi Covid-19.
Malang, pemerintah Indonesia belum memiliki data konkret terkait jumlah perokok yang terinfeksi Covid-19. Ketua Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto membenarkan merokok bisa menurunkan daya tahan tubuh seseorang.
Penurunan imunitas diikuti oleh meningkatnya risiko komorbiditas atau penyakit penyerta yang diidap oleh perokok. Agus yang tergabung dalam Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengungkapkan ada empat faktor yang menyebabkan perokok lebih rentan terhadap Covid-19. Kesehatan perokok bakal lebih buruk bila terinfeksi virus.
Gangguan imunitas di tubuh perokok bisa memicu timbulnya komorbid, mempermudah virus masuk ke tubuh dengan menempel pada reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE-2), dan potensi transmisi virus lewat tangan.
Selain itu, dia juga memaparkan dua hingga tiga isapan asap rokok berpotensi menurunkan pergerakan silia pada saluran nafas hingga 50 persen. Silia yang dimaksud yakni jaringan-jaringan kecil seperti sapu yang berfungsi menangkap kotoran agar tidak turun ke saluran pernapasan yang lebih dalam.
"Di salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta yakni 58,3 persen pasien virus Corona berjenis kelamin laki-laki adalah perokok," ungkap Agus.
Para perokok yang terinfeksi Covid-19 paling banyak memiliki penyakit penyerta atau komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Agus menuturkan bahwa perokok memiliki risiko komorbid yang lebih banyak.
David mengklaim tidak kecanduan rokok. Dia hanya bilang kalau dirinya adalah perokok gaul. Dia hanya merokok saat berkumpul bersama rekan kerja dan kawan-kawan sekolahnya. dia mengaku membutuhkan waktu selama sepekan untuk menghabiskan sebungkus rokok. Baginya, rokok bisa mencairkan suasana dan membuat pembicaraan lebih mengalir.
Bagi segelintir kaula muda, termasuk David, menghisap dua hingga tiga batang rokok saat berbincang bukanlah masalah, asal tidak kecanduan. Dalam laman Southeast Asia Tobacco Control Alliance pada 2018 tercatat bahwa jumlah perokok di Indonesia lebih dari 65 juta orang. Sementara dalam Riskesdas memperkirakan hampir 100 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok.
Menurunkan konsumsi rokok di Tanah Air jelas bukan perkara mudah. Embel-embel gaya hidup, merokok gaul dan candu yang melekat dalam kemasan sebatang rokok.
Sementara, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Atas Kesehatan dan Kesejahteraan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPA), Hendra Jamal menuturkan perokok pemula dan muda selalu menjadi sasaran bagi industri rokok untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi. Strategi industri rokok mengincar anak-anak muda, bisa dibilang berhasil, terbukti dari jumlah produksi rokok yang naik setiap tahunnya.
Menurut catatan pemerintah, jumlah produksi rokok di Indonesia pada 2009 mencapai 280,9 miliar batang. Tercatat kenaikan yang signifikan dalam 10 tahun terakhir, menjadi 329 miliar batang pada 2019 dan nilai cukai hasil tembakau yang disumbangkan ke negara mencapai Rp158,9 triliun.
Nilai cukai yang disumbangkan perokok melalui industri rokok ke negara sangat besar. Namun besaran anggaran yang terserap untuk pembiayaan penyakit katastropik, termasuk diantaranya penyakit yang dipicu dari kebiasaan merokok juga cukup tinggi.
Peringatan pada kemasan produk tembakau selalu tertulis begini; "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin." Penyakit-penyakit yang disebabkan rokok tersebut juga diklaim telah menyebabkan kondisi keuangan BPJS Kesehatan menjadi tidak sehat.
Pada 2019, BPJS Kesehatan mencatatkan defisit hingga Rp13 triliun. Adapun penyakit yang paling banyak bikin tekor BPJS Kesehatan adalah jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal, yang masuk dalam kategori komorbid.
Sekarang penambahan kasus baru Covid-19 kian memperlebar defisit BPJS Kesehatan. Terbukti, hingga pertengahan Juni 2020, kasus gagal bayar BPJS Kesehatan sudah mencapai Rp6,54 triliun. Padahal, badan tersebut memperkirakan bahwa defisit bisa ditekan hingga Rp185 miliar pada akhir tahun, bila tidak memperhitungkan dampak pandemi Covid-19.
Defisit BPJS Kesehatan diprediksikan bakal terus melebar dan menimbulkan persoalan yang komplikasi apalagi di tengah pandemi Covid-19.
Sama halnya dengan kantong BPJS Kesehatan yang tekor, kantong dan rekening David juga terkuras saat menjalani penyembuhan dari infeksi Covid-19.
Walakin, David tergugun. Menghela napas dalam. Tagihan rawat inap di rumah sakit untuk mendeteksi virus Covid-19 di dalam tubuhnya mencapai Rp20 juta. Dia kini jera dengan gaya hidupnya yang tidak sehat. Kini dia menerapkan gaya hidup sehat, adaptasi kebiasaan baru, dan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 yang lebih ketat.