Film Nussa./ilustrasi
Entertainment

Menjadikan Animasi Sebagai Tontonan dan Tuntunan Lewat Nussa

Rezha Hadyan
Sabtu, 17 Oktober 2020 - 17:05
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Berbicara mengenai serial animasi karya anak bangsa tentunya tak bisa dilepaskan dari Nussa. Serial karya studio animasi The Little Giantz dan 4Stripe Productions ini menceritakan kehidupan sehari-hari Nussa, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun yang sangat inspiratif.

Nussa dikisahkan sebagai seorang anak difabel yang periang dan mempunyai semangat tinggi. Walaupun harus menggunakan kaki palsu untuk menggantikan kaki kirinya, Nussa tak pernah minder dan beraktivitas layaknya anak-anak normal seusianya.

Semangatnya mengejar cita-cita menjadi penghafal (hafiz) Al-Quran dan astronot tak pernah padam. Cita-citanya mendapatkan dukungan penuh dari sang ibunda yang dipanggil Umma dan Rara, adik perempuannya yang berusia lima tahun.

Cita-cita Nussa menjadi seorang hafizh Quran tak terlepas dari nuansa Islami yang diusung oleh serial animasi tersebut. Selain sebagai sarana hiburan, Nussa memang disiapkan sebagai sarana edukasi sekaligus dakwah Islam bagi anak-anak.

Menurut CEO sekaligus Co-Founder The Little Giantz Aditya Triantoro, Nussa sejak awal memang disiapkan sebagai tontonan sekaligus tuntunan bagi anak-anak Indonesia, khususnya yang datang dari keluarga muslim. Dirinya juga berharap serial animasi tersebut bisa menyadarkan banyak orang bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkembang dan meraih cita-cita.

“Kami sengaja mendesain Nussa sebagai seorang difabel itu sebagai sebuah simbol. Ini anak difabel tapi dia mampu melakukan hal-hal yang terkadang tuh [merasa], kok dia bisa kenapa saya juga nggak bisa. Dia bisa melakukannya lebih baik, penuh kesabaran,” ungkapnya ketika diwawancara oleh Bisnis belum lama ini.

Terkait dengan nuansa Islami dan nilai-nilai ajaran Islam yang dibawa oleh Nussa, menurut Aditya hal tersebut tak terlepas dari demografi Indonesia yang penduduknya didominasi oleh muslim. Selain itu, dia juga tak menampik bahwa lahirnya serial animasi tersebut tak terlepas dari pengalaman pribadinya mendalami ajaran Islam.

Aditya menyebut tak sembarangan dalam mengangkat nilai-nilai ajaran Islam lewat Nussa. Dirinya dan tim selalu berkonsultasi dengan sejumlah pemuka agama dan komunitas-komunitas Islam yang ada di tengah masyarakat sebelum menyiapkan jalan cerita serial animasi tersebut.

Walaupun demikian, dia menegaskan bahwa Nussa tidak dibuat eksklusif untuk penganut Islam saja. Menurutnya, serial animasi tersebut fokus mengangkat nilai-nilai ajaran Islam yang sifatnya universal, khususnya nilai-nilai kebaikan.

 “[Serial animasi ini] tetapi mengajarkan hal-hal yang sifatnya basic-lah, tentang salam, menghormati orang tua, baca doa sebelum makan, baca doa sebelum kegiatan. Saya yakin semua agama punya hal esensi yang sama,“ tuturnya.

Pro dan kontra memang ada, namun hal tersebut tak membuat Nussa kehilangan penggemarnya. Antusiasme penonton serial animasi yang tayang di YouTube itu justru makin tinggi. Hal tersebut membuat sejumlah televisi akhirnya tertarik untuk menayangkannya.

Tentunya ketertarikan mereka disambut baik oleh Aditya dan teman-temannya di The Little Giantz. Dia menyebut YouTube jangkauannya masih sangat terbatas di kota-kota dengan jaringan internet yang memadai saja. “Televisi masih jadi sarana atau andalan hiburan banyak masyarakat Indonesia, lewat kehadiran Nussa di televisi, kebaikan bisa disebarluaskan lebih luas lagi.”

Tak hanya itu, Nussa juga bersiap tayang di layar lebar berkat ketertarikan produser film Visinema Pictures. Produser yang sukses lewat film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) itu menjadikan Nussa The Movie sebagai film animasi perdananya.

Rencananya film tersebut akan dirilis pada tahun ini. Namun, kondisi pandemi Covid-19 tidak menutup kemungkinan akan membuat rencana tersebut urung terlaksana.

Nussa dan industri animasi Indonesia

Berbicara mengenai industri animasi di Tanah Air, Aditya menyebut masih sangat potensial walaupun untuk menjalankannya tak semudah membalikkan telapak tangan. Pangsa pasarnya sangat besar dan masih belum digarap maksimal oleh para pelakunya.

“Captive market-nya luar biasa besar, masih banyak potensi yang belum tergarap. Masih banyak segmen-segmen lain yang belum digarap dan segmen yang sudah ada masih perlu dimaksimalkan juga,” katanya.

Menurut Aditya, sebagai produk hak kekayaan intelektual (intellectual property/IP) sudah barang tentu Nussa dan karakter lainnya punya potensi yang besar diluar serial animasinya sendiri. Pernak-pernik karakter tersebut yang dijual lewat Nussa Official Store berhasil mendatangkan pendapatan yang tak bisa dibilang sedikit.

Demikian halnya dengan acara-acara tertentu yang menghadirkan karakter dalam serial animasi Nussa, juga ikut memberikan hasil yang lumayan bagi kelangsungan The Little Giantz. Aditya mengungkapkan beberapa perusahaan juga sempat membeli lisensi dari karakter tersebut untuk keperluan promosi produknya.

“Putaran roda bisnisnya memang ada di licensing dan merchandise,” tegasnya.

Tanpa adanya dukungan dari kedua hal tersebut tentunya produksi Nussa tidak akan berjalan lancar. Pasalnya, sebagai animasi tiga dimensi pembuatan Nussa membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar.

“Untuk hardware ini saja [satu perangkat] bisa diatas Rp20 jutaan. Masing-masing departemen punya spesifikasi berbeda dan untuk rendering bisa lebih mahal berkali-kali lipat. Animasi ini memang mahal dan waktu produksinya nggak sebentar, tiga detik itu bisa dua bulan,” paparnya.

Terakhir harapan Aditya terhadap seluruh pihak yang berkepentingan dalam industri animasi Tanah Air tak muluk-muluk. Dia hanya ingin semuanya bisa bertanggung jawab atas karya yang dibuatnya, tidak hanya mencari uang semata tanpa mempertimbangkan dampaknya ke depan.

Dia tidak ingin industri animasi Indonesia hancur lantaran para pelakunya tak memperhatikan kualitas karyanya. Sekadar mengejar keuntungan semata tanpa memikirkan manfaat yang didapatkan oleh masyarakat.

“Untuk pemerintah mungkin ke pengembangan SDM, perlu dikembangkan jurusan-jurusan animasi di kampus-kampus atau SMK [Sekolah Menengah Kejuruan]. Mengikuti perkembangan zaman juga kurikulum pendidikannya. Karena apa yang diajarkan ini kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan atau industri,” tutupnya.

Penulis : Rezha Hadyan
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro