Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah membuka opsi vaksin mandiri atau vaksin gotong royong. Hal ini disebut-sebut sebagai komitmen dunia usaha untuk mempercepat program vaksinasi. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menegaskan rencana ini tidak ditujukan untuk komersialisasi.
Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan vaksinasi memang penting, tapi perlu diingat hal tersebut bukan ujung tombak penanganan pandemi. Upaya yang tengah dilakukan oleh pemerintah ini harus ditempatkan pada posisi yang proporsional sebagai pendukung.
Dia melanjutkan wacana vaksinasi mandiri perlu dikaji dengan cermat dan matang sebelum keluar keputusan dan diimplementasikan. Menurutnya, tujuan dari upaya ini memang baik tapi perlu dilakukan dengan cara yang tepat dan bijak agar tidak kontraproduktif dengan tujuan program vaksinasi itu sendiri.
Selain itu, penting juga untuk menghindari stigma atau kesan adanya ‘vaksin kelas satu’ dan ‘vaksin kelas dua’ atau ‘warga kelas satu’ dan ‘warga kelas dua’ serta permasalahan terkait akses yang terkesan diskriminasi.
“Bukan sama sekali tidak mungkin [dilakukan vaksinasi mandiri], bisa saja tapi harus benar perencanaannya dengan matang,” katanya kepada Bisnis.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda berpendapat bahwa vaksin mandiri dapat menjadi opsi hanya apabila vaksinasi itu tetap gratis dan terpantu dengan baik oleh pemerintah.
Namun, dengan keadaan pendataan yang masih runyam dan layanan kesehatan publik-swasta yang masih terfragmentasi, menurutnya hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan.
Tak hanya pertimbangan itu, dia melanjutkan dengan keterbatasan vaksin yang ada dikhawatirkan terjadi jurang ketimpangan antara pihak yang mampu membayar dengan yang tidak. Alhasil, mereka yang mampu akan mendapat akses terlebih dahulu.
“Kami tidak setuju dengan vaksinasi mandiri di dalam situasi suplai global dan nasional yang masih terbatas,” katanya.