Ilustrasi/Antara
Health

Kenali Sel Dendritik, Teknologi yang Dipakai Vaksin Nusantara

Desyinta Nuraini
Senin, 22 Februari 2021 - 09:52
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Vaksin Nusantara saat ini tengah menjadi sorotan. Sejumlah ahli pun meminta agar uji klinis vaksin yang diinisasi mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto itu segera dihentikan karena berbasis sel dendritik.

Lantas apa yang dimaksud vaksin berbasis sel dendritik? Peneliti Bioteknologi di Universiti Putra Malaysia Bimo Ario Tejo mengatakan vaksin sel dendritik (DC) biasanya digunakan untuk pasien kanker.

Pada pasien kanker, sistem imun terkadang gagal mengenali sel kanker di tahap awal. Oleh karena itu solusinya yakni dengan mengambil DC dari pasien. Kemudian DC diaktifkan dengan antigen dari sel kanker.

Tahap berikutnya DC dimasukkan kembali ke tubuh pasien. DC yang telak aktif memerintahkan sel T untuk mencari dan memusnahkan sel kanker.

Bimo menyebut Provenge merupakan vaksin DC pertama di dunia yang digunakan untuk kanker prostat dan diluncurkan pada 2010 lalu. Untuk menjalani vaksinasi ini, memerlukan biaya US$93.000 untuk 3 kali injeksi.

"Pasien diambil darahnya, sel DC diaktifkan selama 3 hari, sel dendritik dimasukkan, setelah 2 minggu ulangi proses yang sama sampai 3 kali," ujarnya dikutip Bisnis dalam Instagram, Senin (22/2/2021).

Sejumlah laboratorium di beberapa negara kini sedang meneliti vaksin DC untuk Covid-19, termasuk Indonesia.

Pertama dilakukan oleh Aivita Biomedical, Inc., Amerika Serikat. Uji klinis vaksin AV-COVID-19 berlangsung di Semarang, Indonesia dan California, AS.

Kedua dilakukan Shenzhen Geno-Immune Medical Institute, China. Uji klinis LV-SMENP-DC di Guangdong, China.

Ketiga, Shenzhen Third People's Hospital, China. Uji klinis vaksin gene recombinant chimeric DC berlangsung di Guangdong, China.

Bimo menerangkan terdapat kelebihan dan kekurangan vaksin DC.

Kelebihannya antara lain dapat didesain lebih spesifik dengan menggunakan antigen khusus untuk mengaktifkan sel dendritik. Kemudian dapat mengaktifkan sel T dan diduga kekebalannya bertahan lebih lama dibanding vaksin inactivated konvensional.

Sementara kekurangannya yakni prosesnya panjang dan memerlukan fasilitas khusus sehingga kurang sesuai untuk program vaksinasi massal. "Biayanya sangat mahal dibanding vaksin konvensional," tandas Bimo.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro