Bisnis.com, JAKARTA - Maria Rosantina memiliki pasion di dunia arsitektur. Sejak kecil dia bahkan telah bercita-cita menjadi seorang arsitek dan terus fokus di jalur tersebut hingga melanjutkan pendidikan di jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan Bandung.
Lulus 1998, ketika itu Indonesia tengah dilanda krisis moneter sehingga banyak kantor konsultan arsitektur yang gulung tikar sehingga Maria tidak mendapatkan kesempatan bekerja di bidang tersebut.
Namun, karena dunia arsitektur telah menjadi bagian dari hidupnya, Maria lantas merintis biro arsitektur bersama rekannya yang lebih dulu mengembangkan studio di bawah bendera D-Associates pada 2000, kala itu usianya masih sangat belia.
Kini sepanjang 20 tahun perjalanannya sebagai seorang arsitek, Maria telah merasakan pahit manis dunia arsitektur. Diakui olehnya, selama bekerja, hampir semua rekan bisnis dan koleganya merupakan laki-laki. Sebab, bagaimana pun arsitektur memang sangat terkait dengan dunia laki-laki.
Menurutnya, seorang arsitek harus memiliki keseimbangan antara rasa dan logika. "Jadi antara otak kiri sama otak kanan itu harus balance," ujarnya.
Terlebih ketika sudah terlibat dengan proyek yang berhubungan dengan publik. Seorang arsitek tidak hanya dituntut untuk menelurkan karya yang menarik tetapi juga memiliki pasion besar di dunia arsitektur, memiliki pengetahuan di berbagai bidang mulai dari sosial, budaya, keteknikan, dan lain sebagainya.
"Saya selalu bilang ke tim saya bahwa setiap tarikan garis yang kita buat itu memiliki efek yang besar dan ada tanggung jawab besar karena kita menaungi kehidupan yang ada di dalamnya" tuturnya.
Menurutnya, keahlian seorang arsitek tidak bergantung pada gender. Sebab, Maria sendiri pun di studionya tidak pernah membedakan pemberian proyek untuk laki-laki maupun perempuan.
Namun, diakui olehnya bahwa pekerjaan seorang arsitek membutuhkan banyak waktu dan itu menjadi tantangan tersendiri bagi seorang arsitek perempuan untuk konsisten sebagai arsitek, terutama bagi yang sudah berumah tangga dan menjadi seorang ibu.
"Titik krisis seorang perempuan yang berprofesi sebagai arsitek itu saat menjadi seorang ibu karena dia harus bisa memanage dirinya dan waktunya untuk bisa tetap survive di profesi ini. Pada waktu ini biasanya banyak yang berhenti menjadi arsitek" ujarnya.
Sebab, untuk menelurkan sebuah karya arsitektur banyak hal yang harus dipertimbangkan. Tidak hanya sekadar menghasilkan karya sesuai idealisme tetapi harus mampu menjawab kebutuhan klien, konsistensi, hingga presistensi yang tinggi.
Maria bersama tim dari D-Associates telah ikut terlibat dalam berbagai proyek seperti renovasi sejumlah stadion di Gelora Bung Karno yakni Stadion Madya dan Stadion Baseball. Selain itu, juga mengerjakan proyek di rest area Brebes yang merupakan bekas pabrik gula Banjaratma yang dibangun zaman Belanda.