Bisnis.com, JAKARTA - Selama masa pandemi, banyak industri yang terdampak turun terutama industri fesyen dan barang mewah. Namun, kondisi pandemi malah menjadi “perfect storm” bagi industri jam tangan mewah.
Hendra Kesuma CEO Radatime mengatakan naiknya harga jam tangan mewah hingga ke angka yang sulit diterima logika menjadi fenomena menarik.
Berdasarkan data timeandtidewatches.com di tahun 2020, harga jam Rolex Daytona 116500LN White, meroket dari harga ritel resmi Rp184 juta menjadi Rp407 juta di pre-owned market (pasar jam tangan secondary). Bahkan dari sumber informal, per Januari 2022 harga Rolex Daytona 116500LN White di pasar secondary telah berada di kisaran Rp600 juta.
Begitu pula dengan merek-merek lain, seperti Patek Philippe Ref. 5711 Green Dial, yang pada harga ritel US$35.000 (Rp. 490 juta) dilelang dengan harga US$490,000 (Rp. 6.8 Milyar).
Merek Audemars Piguet Royal Oak 15500ST naik hampir 3 kali lipat sejak tahun 2017.
Meski harganya terbilang meroket tetapi dari sisi kuantiti, menurut laporan dari Morgan Stanley, di tahun 2020, Rolex menjual 810.000 buah, Patek Philippe menjual 53.000 buah, Audemars Piguet 40.000 buah dan Richard Mille 4.300 buah jam tangan.
Bahkan menurut data dari McKinsey, total penjualan pasar jam tangan bekas pada tahun 2019 diprediksi mencapai US$18 Milyar atau Rp252 Triliun.
Hendra mengatakan banyak fakta menarik dari meroketnya harga jam tangan mewah. Banyak pihak yang menerka bahwa kenaikan harga jam mewah ini disebabkan oleh produsen yang sengaja mengerem produksi.
Namun, isu ini dipatahkan dalam konferensi pers yang dilakukan oleh pihak Rolex yang membantah bahwa ini adalah bagian dari strategi.
"Biarpun mereka mengakui penghentian produksi ada dilakukan hanya selama 10 hari di masa pandemi. Jumlah produksi stabil berada di angka 1 juta buah setiap tahun. Namun, persediaan yang ada tidak bisa memenuhi peningkatan permintaan yang naik drastis karena pengaruh media sosial," tuturnya.
Selain itu, pada masa pandemi, konsentrasi kekayaan berubah dari liburan mewah ke hal lain salah satunya adalah jam tangan, didukung dengan aliran informasi yang mendominasi media sosial.
"Sosial media adalah platform paling populer dalam menyebarkan gaya hidup. Gambaran kehidupan glamor menjadi magnet atau harapan indah bagi banyak netizen," tambahnya.
Hal ini berkontribusi besar menjadikan jam tangan sebagai benda koleksi dan investasi yang paling menarik. Media sosial hype, FOMO (Fear of Missing Out) dan riuhnya pasar jam tangan bekas di dunia maya juga ikut menyumbang meroketnya permintaan jauh di atas persediaan yang tetap sama.
"Menariknya di industri jam tangan, harga ditetapkan oleh mekanisme pasar Supply versus Demand, tanpa ada bursa resmi yang mengaturnya," ujarnya.