Bisnis.com, JAKARTA - Kampanye kepada masyarakat agar memilih kemasan yang free BPA terus dilakukan karena BPA terbukti sebagai sumber segala sumber penyakit. Seperti di antaranya, kanker, autis, syaraf, dan masih banyak lagi penyakit yang berbahaya.
Pakar pendidikan Autis, Dr Imaculata sudah menegaskan BPA terbukti sebagai faktor eksternal penyakit autis. Dan tiap tahun jumlah penderita terus meningkat.
Dampak dari salah seorang anak terkena autis itu luar biasa. Banyak rumah tangga bercerai gara-gara punya anak autis. Ada orangtua bahkan memilih bunuh diri karena mempunyai anak autis. Tidak mudah mempunyai anak autis. Untuk pendidikan anak autis, satu penderita harus ditangani satu orang guru.
Dr Imaculata mengatakan penderita autis tiap tahun meningkat akan tetapi data nasional angka pastinya tidak ketahuan. Imaculata menegaskan bahwa BPA sebagai faktor eksternal penderita autis.
"Tidak ada data penderita autis secara nasional," ujar Dr Imaculata beberapa waktu lalu
"Di negara - negara maju, sudah melarang penggunaan kemasan plastik yang mengandung BPA. Di Indonesia sudah bagus juga. Botol - botol susu untuk bayi, piring, sendok plastik dan peralatan mainan anak sudah free BPA. Tinggal dari galon guna ulang yang belum free BPA, yang dimana kemasan ini terlihat banyak digunakan dalam kemasan plastik AMDK untuk konsumsi keluarga, yang justru pengaruhnya sangat besar. Banyak anak - anak minum susu formula, airnya dari galon guna ulang berbahan polycarbonat dengan kode daur ulang 7 yang mengandung BPA. Itulah jalan masuk BPA ke dalam tubuh bayi," ujar Ketua JPKL (Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan) Roso Daras
Roso juga menegaskan bahwa JPKL mendukung keputusan BPOM untuk Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM No 31 tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan, dan berharap segera dilakukan. Karena dengan adanya Perubahan Peraturan BPOM ini anak-anak Indonesia akan terlindungi dari bahaya zat BPA. Apalagi BPOM sebagai regulator telah melakukan penelitian paling mutakhir dengan mengambil sampel secara acak di seluruh Indonesia di tahun 2021 - 2022. Hasilnya terbukti galon guna ulang yang beredar telah melampaui ambang batas migrasi BPA yang telah ditentukan yaitu 0,6 bpj. Ini jelas membahayakan bagi bayi, balita, dan janin pada ibu hamil yang kedepannya menjadi generasi penerus bangsa Indonesia.
"Di negara - negara maju sudah tidak menggunakan kemasan polycarbonat lagi. Karena dilarang menggunakan kemasan yang mengandung BPA. Siapa bilang di luar negeri tidak ada Pelabelan? Justru wajib ada Pelabelan bahwa plastik yang digunakan sudah free BPA. Harusnya seorang guru besar hal seperti itu sudah paham, dan seorang guru besar harusnya berpikir besar. Berpikir besar itu artinya berpikir untuk keselamatan masyarakat banyak, bukan berpikir sektoral. Harus melihat Indonesia secara luas bukan hanya hari ini saja. Tapi ke depan juga," tandas Roso Daras.
Batas toleransi 0,6 bpj memang peraturan yang dikeluarkan oleh BPOM. Dan JPKL pada mulanya menginisiasi agar isi kemasan tersebut tidak dikonsumsi bayi, balita dan ibu hamil. Sebab mereka kelompok usia rentan terhadap paparan BPA. Mereka harus mengkonsumsi makan dan minum dari wadah yang free BPA.
Dan JPKL kemudian menunjuk salah satu laboratorium untuk meneliti migrasi BPA pada galon guna ulang. Ternyata hasilnya jauh di atas ambang batas. Dengan hasil rata - rata 2 - 4 bpj.
Penelitian ini diperkuat lagi oleh rilis BPOM yang dimuat di media- media nasional yang telah melakukan penelitian dengan sampel lebih besar dan jangkauan lebih luas, yaitu Indonesia di tahun 2021 - 2022. Hasilnya malah lebih mengerikan. Masuk kategori sangat membahayakan, sehingga perlu dilakukan pelabelan.
"Harusnya semua pihak kalau untuk kesehatan anak harus dijadikan pertimbangan utama. Jangan sampai atas nama industri harus mengorbankan masa depan Indonesia karena anak - anak terkontaminasi BPA," tegas Roso Daras.