Author

Dewa Gde Satrya

Dosen Hotel & Tourism Business Universitas Ciputra Surabaya

Dewa Gde Satrya adalah Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya. Dia juga dikenal sebagai penulis dengan topik hospitality dan tourism creative.

Lihat artikel saya lainnya
Kawasan The Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Kawasan pariwisata ini dikelola oleh Indonesia Tourism Development Corporation./ITDC
Travel

Opini: Demarketing Pariwisata Setelah lebaran

Dewa Gde Satrya
Rabu, 11 Mei 2022 - 10:56
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Liburan Lebaran menjadi momentum perjalanan ke destinasi wisata. Terjadi lonjakan jumlah pengunjung ke berbagai destinasi wisata.

Daya dukung (carrying capacity) destinasi wisata yang menjadi perhatian selama masa pandemi kini seakan kembali ke situasi awal: kerumunan massa wisatawan.

Di satu sisi, kedatangan wisatawan adalah berkah dan tujuan eksistensi setiap destinasi. Di sisi lain, kerinduan akan datangnya wisatawan yang berkualitas, memberi manfaat yang tinggi secara ekonomi, sosial, dan lingkungan, tidak paralel dengan jumlah kedatangan.

Kerap kali massa besar diidentikkan dengan ketidaknyamanan yang memicu perilaku tidak bertanggung jawab. Sampah, kerusakan lingkungan, polusi, dan memungkinkan terpinggirkannya masyarakat dan budaya lokal, merupakan keniscayaan dari mass tourism.

Dalam konteks ini, pengendalian wisatawan diperlukan untuk mencapai titik temu ideal: economic, social cultural dan environment sustainability. Penerapan prinsip CHSE (cleanliness, healthy, safety, environment sustainability) dan carrying capacity harus diberlakukan untuk memastikan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan, penghormatan terhadap budaya lokal dan memberi manfaat sebesar-besarnya pada kemakmuran warga di sekitar objek wisata.

Di satu sisi, ada pemasukan yang besar dari wisatawan. Di sisi lain, perilaku dan alur kunjungan wisatawan harus dikelola sedemikian rupa agar mempertahankan kenyamanan penduduk lokal (host) dan wisatawan (guest), serta menjaga kualitas lingkungan.

Abernethy (2001) menyatakan daya dukung adalah konsep ekologis yang mengungkapkan hubungan antara populasi dan alam di mana ia bergantung untuk kelangsungan hidup. Daya dukung mengasumsikan batas jumlah individu yang dapat didukung pada tingkat konsumsi tertentu tanpa merusak lingkungan dan, oleh karena itu, mengurangi daya dukung di masa depan.

Dalam implementasinya, Cifuentes (1992) membagi carrying capacity menjadi daya dukung fisik (physical carrying capacity/PCC), daya dukung riil (real carrying capacity/RCC), dan daya dukung efektif (effective carrying capacity/ECC).

Singkatnya, harus ada regulasi dan standar di setiap destinasi untuk menentukan ambang batas atau daya dukung. Jika melampaui ambang batas lingkungan alam dan penerimaan lingkungan sosial, walaupun memberi manfaat secara ekonomis, harus dilakukan pengendalian wisatawan.

Teknologi dapat membantu mengatur kunjungan wisatawan. Penerapan online booking untuk penjadwalan kunjungan, mekanisme alur masuk dan keluar, desain lama waktu kunjungan agar tidak terjadi penumpukan wisatawan atau re-route, penyediaan lahan parkir yang memadai, merupakan beberapa bagian teknis yang secara detail harus disiapkan dengan baik oleh setiap destinasi.

Kawah Ijen, contohnya, melakukan pembatasan jumlah pengunjung per hari sebanyak 225 orang atau sebesar 50 persen dari kapasitas normal. Pembelian tiket masuk ke Dieng dilakukan secara online untuk mengindari kerumunan wisatawan (jatim.antaranews.com).

Tak kalah pentingnya adalah penyediaan fasilitas yang memungkinkan setiap wisatawan dapat menikmati kunjungan, terutama kalangan difabel, lansia, dan traveler dari kalangan keluarga yang membawa anak-anak.

Konsep demarketing dapat diterapkan untuk menindaklanjuti pascaliburan panjang Lebaran, yang umumnya diakui sebagai aspek pemasaran yang bertujuan untuk ‘mengecilkan hati’ pelanggan pada umumnya atau kelas pelanggan tertentu pada khususnya, baik secara sementara atau permanen, dan diposisikan sebagai alat potensial untuk mengembangkan pariwisata dan meningkatkan keberlanjutannya secara keseluruhan, terutama sebagai akibat dari apa yang disebut over tourism (Hall & Wood, 2021).

Over tourism terjadi ketika permintaan melebihi tingkat di mana bisnis pariwisata mampu memenuhi permintaan wisatawan. Demarketing dilakukan melalui penerapan harga, tiket berjangka waktu, dan perubahan strategi promosi untuk secara permanen atau sementara mencegah semua atau segmen pelanggan tertentu.

Sebagaimana konsep marketing pada umumnya untuk mempertahankan dan meningkatkan pasar sasaran, demikian halnya demarketing bertujuan untuk meningkatkan kualitas pasar sasaran. Konsep ini dapat dilakukan untuk keberlanjutan bisnis agar pada masa low season tidak terlalu menurun dan pada masa high season mendapat pasar yang berkualitas.

Maka, over tourism pada masa liburan Lebaran dapat dipersiapkan dengan strategi demarketing untuk menghadirkan economic, social cultural, dan environment sustainability.

Kiranya pengalaman menerima wisatawan pada libur Lebaran ini menjadi momentum pembelajaran yang berharga bagi setiap destinasi wisata untuk menjadi host yang baik bagi wisatawan, penjaga kelestarian lingkungan dan teman yang bersahabat bagi penduduk lokal. Demarketing bukan untuk mengurangi permintaan, tetapi mengantisipasi agar kunjungan wisatawan selalu terjadi, meski tidak pada waktu liburan panjang.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro