Bisnis.com, BANDUNG – Satu dari tujuh wanita (14%) harus menunggu selama satu tahun atau lebih untuk mendapatkan diagnosis penyakit mereka.
Sementara hanya 9% pria yang mengalami penantian yang sama untuk mendapatkan diagnosis rasa sakit, menurut sebuah penelitian.
Sebuah survei terhadap lebih dari 5.000 orang dewasa di Inggris menemukan bahwa dua pertiga pria biasanya menerima diagnosis rasa sakit dalam waktu 11 bulan.
Tetapi kurang dari separuh wanita yang cukup beruntung untuk mengetahui apa yang salah dengan mereka dalam jangka waktu yang sama.
Dan hampir seperempat wanita (23%) bahkan tidak mencoba untuk memeriksakan diri ke dokter, dengan 45% yang mengabaikan rasa sakitnya.
Sementara itu, hanya 35% pria yang memiliki kekhawatiran yang sama dan hanya 13% yang tidak berusaha mencari diagnosis.
Juga ditemukan bahwa 18% pria merasa bahwa keterlambatan diagnosis mereka disebabkan oleh rasa sakit yang mereka rasakan diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius oleh profesional kesehatan, dibandingkan dengan 30% wanita yang merasa demikian.
Penelitian ini dilakukan oleh Nurofen, untuk menyambut peluncuran alat PAIN PASS, yang membantu orang membicarakan rasa sakit mereka dengan percaya diri kepada profesional kesehatan.
Penelitian ini juga menunjukkan "kesenjangan rasa sakit antar gender" telah melebar setahun sejak Laporan Indeks Kesenjangan Rasa Sakit Gender pertama dari merek pereda nyeri ini, yang menyoroti lebih banyak hal yang harus dilakukan untuk mengatasi bias gender yang tidak disadari dalam perawatan kesehatan.
Data tahun lalu menunjukkan 56% wanita merasa rasa sakit mereka diabaikan atau diremehkan, dibandingkan dengan 49% pria. Hal ini menunjukan bahwa ada kesenjangan sebesar 7%.
Sementara jumlah wanita yang merasakan hal ini telah turun menjadi 49% tahun ini, dan hanya 38% pria yang merasakan hal ini. Data ini menunjukkan adanya pelebaran kesenjangan menjadi 11%.
Dilansir dari laman Mirror, Dr Marieke Bigg, sosiolog dan penulis buku "This Won't Hurt: How Medicine Fails Women", mengatakan "Sangat memprihatinkan melihat kesenjangan rasa sakit berdasarkan gender meningkat.”
"Apakah ini berarti perempuan menjadi lebih vokal tentang masalah yang mereka hadapi, atau apakah seksisme medis telah meningkat? kita perlu menanggapi bukti ini dan membuat perubahan pada penyediaan layanan kesehatan,” tambahnya. (Kresensia Kinanti)