Bisnis.com, BANDUNG – Bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius, bahkan fenomena ini semakin meningkat di seluruh dunia dan menjangkau usia yang lebih muda.
Menurut studi pada National Institute of Mental Health (2017), serial televisi Thirteen Reason Why menyebabkan peningkatan 28,9% dalam tingkat bunuh diri di kalangan remaja Amerika Serikat pada usia 10-17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa remaja sangat rentan terhadap media.
Lantas, bagaimana fenomena bunuh diri di indonesia, dan apa penyebabnya?
Berdasarkan paparan Dr Nova Riyanti dalam media briefing PB IDI mengenai Fenomena Bunuh Diri di Indonesia, pada tahun 2021 terdapat 613 kasus bunuh diri di Indonesia dan kasus ini meningkat menjadi 826 kasus pada tahun 2022.
Dalam kasus ini, remaja berisiko tinggi mengalami perilaku terkait bunuh diri.
Berdasarkan American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, fase remaja dibagi menjadi 3, yaitu early adolescence (11-13 tahun), middle adolescence (14-18 tahun), dan late adolescence (19-24 tahun). Dari ketiga fase tersebut, mereka yang berada di fase middle adolescence merupakan yang paling rentan.
Ada beberapa faktor risiko ide bunuh diri pada remaja, yaitu:
1. Kesepian
Kesepian merupakan alat prediksi terkuat dan paling bisa diandalkan dalam mengenali ide bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan perilaku bunuh diri.
2. Perasaan menjadi beban
Persepsi tentang expendability, atau kondisi mudah tergantikan di dalam keluarga, sangat berkaitan dengan tingkah laku bunuh diri di kalangan remaja.
Baca Juga : 10 Kebiasaan Ini Bisa Mencegah Stres dan Depresi |
---|
3. Ingin menjadi bagian dari sesuatu
Ketika “the need to belong” tidak terpenuhi, sebuah keinginan akan kematian mulai berkembang atau muncul pemikiran bunuh diri.
4. Putus asa
Perasaan putus asa menjadi salah satu indikator kuat pemikiran bunuh diri dibandingkan dengan diagnosis depresi. Dalam hal pencegahan bunuh diri, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan, yaitu upaya preventif yang meliputi upaya primer, sekunder, dan tersier.
Upaya primer meliputi intervensi sebelum efek kesehatan terjadi. Penapisan deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri pada remaja merupakan tahap pencegahan primer.
Pada tahapan individu terdeteksi dan mendapatkan intervensi agar tidak berkembang menjadi percobaan bunuh diri merupakan tahap pencegahan sekunder.
Mengidentifikasi remaja yang paling berisiko sebelum perilaku tersebut menjadi serius seharusnya dapat mengurangi angka kejadian bunuh diri. (Kresensia Kinanti)