Bisnis.com, JAKARTA - Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit endemi di Indonesi yang cukup banyak menjadi penyebab kematian.
Berdasarkan data yang dihimpun BPJS Kesehatan, kasus DBD pada 2022 melonjak 98 persen dari 2021, mencapai 143.184 kasus dengan kematiannya 1.236 kasus.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengurangi kasus dan angka kematian DBD. Namun, Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa penyakit ini adalah penyakit yang tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, salah satu yang menyebabkan penyakit ini akan terus ada adalah El Nino atau pemanasan global.
"Kalau dilihat kasus Oceanic Nino Index, suhu permukaan laut naik itu jadi El nino. Dalam kondisi ini, telur nyamuk itu bisa bertahan berbulan-bulan di tempat kering sekalipun, dan begitu kena air bisa menjadi nyamuk dan menyebarkan virus Aedes Aegypti," ujarnya dalam Diskusi Publik FNM Society di Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Berdasarkan data yang dia himpun, setiap El Nino terjadi, akan diikuti dengan kenaikan kasus DBD. Seperti pada 2019 ketika El Nino naik 2 derajat, kasus DBD juga naik tinggi. Hal itu juga terjadi pada 2020.
"Jadi El Nino ini kejadian alam, sehingga DBD akan ada terus, ini tidak mungkin kita intervensi. Kita bisa mengurangi saja," ungkapnya.
Beberapa strategi Kementerian Kesehatan untuk mengurangi kasus kematian akibat DBD antara lain dengan melakukan promosi kesehatan dan pengendalian vektor.
Pengendalian pun perlu bantuan dari seluruh pihak, termasuk masyarakat, dengan melakukan 3M+ dengan menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, mendaur ulang barang yang berpotensi menjadi sarang nyamuk, dan menggunakan abate.
"Tapi tren kita untuk turunkan kasus ke 10 per 100.000 orang masih sangat jauh, jadi harus ada inovasi lain. Salah satunya Wolbachia," kata Maxi.
Dalam pengendalian vektor, para ilmuwan dan pemerintah Indonesia tengah menyiapkan inovasi untuk menggantikan pengasapan atau fogging ke pilihan yang lebih aman, yaitu menggunakan nyamuk Wolbachia.
Untuk metode tersebut, sudah dikaji oleh 25 guru besar dan profesor dari Universitas Indonesia dan dipastikan aman.
Adapun, masyarakat juga diimbau untuk mendapatkan vaksinasi, khususnya untuk kelompok usia 6-45 tahun. Namun, vaksin ini masih berbayar bagi yang ingin mendapatkannya.