Cuplikan Film Darah dan Doa (The Long March) yang disutradarai oleh Usmar Ismail dan diproduksi oleh Perfini dan Spectra Film Exchange pada 1950.
Entertainment

Daftar 10 Film Pertama Indonesia dan Sinopsisnya Jelang 100 Tahun

Gajah Kusumo
Sabtu, 30 Maret 2024 - 19:14
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Film Darah dan Doa atau The Long March garapan Usmar Ismal yang mulai diproduksi pada 30 Maret 1950 menjadi tonggak sejarah perfilman nasional, di mana tanggal tersebut diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Film Nasional.

Sejatinya, sebelum menggarap film Darah dan Doa, Usmar Ismail sudah lebih dulu menggarap sejumlah film, diantaranya Tjitra yang dirilis pada 1949 dan dibintangi oleh Rd Sukarno dan Nila Djuwita alias Christine Albertine Mamahit Gautama.

Namun, entah bagaimana Usmar Ismail menganggap film pertamanya adalah Darah dan Doa.

Meski demikian, adakah film-film Indonesia yang dibuat sebelum film Darah dan Doa yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Film Nasional?

JB Kristanto, dalam Katalog Film Indonesia  1926—2007, yang diterbitkan oleh Penerbit Nalar bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia pada Juni 2007, mencatat ada sebanyak 2.438 film yang diproduksi di Indonesia atau tentang Indonesia dalam periode 1926—2007.

Berikut, 10 film pertama yang pernah dibuat di Indonesia dan sinopsisnya:

1. Loetoeng Kasaroeng (1926)

Walau disutradarai oleh orang asing, yaitu L. Heuveldorp, tetapi film bisu yang diproduksi oleh Java Film Co ini merupakan cerita pertama di Indonesia yang menampilkan cerita asli Indonesia, sebuah legenda yang terkenal dari Jawa Barat, yang berisikan nasihat agar tidak memandang sesuatu dari kulitnya saja.

Alkisah, Purbasari diejek karena punya pacar seekor lutung (Guru Minda), sedangkan kakaknya Purbararang membanggakan kekasihnya, Indrajaya yang manusia. Ternyata lutung itu sebetulnya adalah seorang pangeran tampan, titisan dewi Sunan Ambu. Guru Minda jauh lebih tampan dari Indrajaya.

2. Eulis Atjih (1927)

Film bisu, yang disutradarai oleh G. Krugers, juga dikenal dengan nama Poetri Jang Tjantik Manis dari Bandoeng. Film yang  diproduksi oleh Java Film Co pada 1927 ini menceritakan seorang suami yang meninggalkan isteri dan anaknya untuk berfoya-fora. Si isteri, Eulis Atjih dan anaknya pun hidup melarat. Di kemudian hari, sang suami yang sudah  jatuh miskin tetap diterima Euis menjadi suaminya kembali.

3. Lily van Java (1928)

Kisah seorang gadis anak hartawan yang oleh ayahnya dipaksa menikah dengan seorang pemuda, sedangkan gadis itu telah punya hubungan asmara dengan pemuda lain.

Film bisu yang diproduksi oleh South Sea Film Co ini mula- mula dikerjakan oleh orang Amerika, Len H. Ross, tapi diselesaikan oleh sutradara Nelson Wong, dengan bantuan Joshua dan Othniel Wong. Seluruh proyek ini diambil alih oleh perusahaan Wong bersaudara itu dengan nama Halimoen Film.

Kedua gadis pemain film ini adalah anak "twako" atau "mafia" Jl. Kapasan, Surabaya, Skenario film ini diperiksakan dulu pada Filmcommissie (semacam badan sensor).

4. Resia Boroboedoer (1928)

Young Pei Fen (Olive Young) berangkat dari China ke Borobudur, karena membaca warisan ayahnya, Young Lun Fah, sebuah buku rahasia (resia) candi terkenal Borobu- dur, yang terletak di dekat Muntilan, Jawa Tengah.

Tujuannya mengambil satu guci yang berisi abu Sang Budha Gautama. Di tempat itu ia dihalangi oleh Gandha Soewastie. Gandha dipukul hingga jatuh. Sahabatnya, Kusumo, tidak senang dan ingin membinasakan Pei Fen dengan guna-guna.

Gandha menggagalkan maksud itu. Sebelum berhasil, dia jatuh pingsan oleh asap beracun. Gandha kembali menolongnya, karena ia pernah berhutang nyawa pada ayah Pei Fen. Akhirnya Pei Fen insyaf dan memutuskan jadi pendeta untuk menjaga candi itu.

Film bisu yang diproduksi oleh Nancing Film Co pada 1928 ini sempat dikritik keras oleh Kwee Tek Hoay, karena gambarnya yang buram. Dia jug asempat berujar, “tidak perloe moesti orang djoestain dengan begitoe kasar, karena penonton jang ada poenja pengertian soedah tentoe mendjadi djemoe.”

5. Setangan Berloemoer Darah (1928)

Film bisu yang diproduseri oleh Tan Boen Soan, wartawan Soeara Semarang, pada 1928 itu diangkat dari novel Tionghoa Melayu karya Tjoe Hong Bok yang diterbitkan di Semarang  pada 1927 dengan judul Setangan Berloemoer Darah atau Hikajat Tanhianbeng.

Novel ini menceritakan seorang pemuda yang hendak balas dendam atas pembunuhan ayahnya sebelum akhirnya memaafkan sang pembunuh.

Tan Hian Beng menyelamatkan kakak adik Lim Kiat Nio dan Lim Liang Tin dari sekelompok perampok yang diotaki Li Djin Hin. Setelah mereka selamat, mereka mencari tahu latar belakang Tan. Tan mengatakan bahwa pasca pembunuhan ayahnya, ibunya memaksa Tan untuk pergi ke Batavia bersama pamannya secara mendadak pada dini hari.

Setelah Tan dewasa, ia diberikan sarung tangan berdarah dan diberitahu bahwa sarung tangan tersebut dipakai oleh ibunya untuk menghentikan pendarahan yang dialami ayah Tan. Tan pun diminta untuk melacak dan membunuh pembunuhnya.

6. Njai Dasima (1929)

Film bisu yang diproduseri oleh Tan's Film (Tan Koen Yauw) dan sutradara Lie Tek Swie dengan pemeran N Noerhani, Anah, Wim Lender, dan Momo ini mengisahkan tentang

seorang nyai (istri piaraan) yang sangat terkenal berkat buku yang terbit 1896, dan kemudian dipopulerkan melalui sandiwara dan lenong.

Seorang gadis asal Kuripan, Bogor, Dasima, "diperistri" oleh orang Inggris bernama Edward William alias Tuan We. Semula Nyai tinggal di Tangerang, kemudian pindah ke Betawi/ Jakarta. Dia jadi terkenal karena kecantikan dan kekayaannya.

Salah seorang yang tertarik adalah Samiun, yang sudah punya istri Hayati. Nyai Dasima dibujuk oleh Mak Buyung untuk meninggalkan "tuannya". Namun, sesudah jadi istri muda Samiun, dia disia-siakan.

Cerita dibuat menjadi dua bagian. Bagian pertama dibuat September-Oktober 1929. Kisah ini berdasarkan cerita nyata yang terjadi di Tangerang dan Betawi antara 1813-1820an. Dasar cerita film ini diambil dari karangan G. Francis (1896).

7. Rampok Preanger (1929)

Film bisu yang disutradarai oleh Nelson Wong, yang sebelumnya menyutradarai film Lily van Java, ini diproduksi oleh Halimoen Film.

Film ini dibintangi Ining Resmini (1909-1978), penyanyi keroncong yang popular di Bandung dan sering diundang oleh putra-putra sultan di Semenanjung Malaka saat sedang rekaman piringan hitam di Singapura.

Film ini meniru genre film-film Amerika pada saat itu yang menceritakan tentang jagon yang popular di kalangan pribumi dan China.

8. Si Tjonat (1929)

Film bisu, yang dibuat dalam dua seri, yang diproduksi oleh Batavia Motion Picture (Jo Eng Sek dan Nelson Wong) dan disutradarai oleh Nelson Wong dengan pemeran Herman Sim, Ku Fung May, dan  Lie A Tjip (sebagai si Tjonat) menceritakan kenakalan Tjonat sejak kecil.

Si Tjonat diceritakan melarikan diri ke Batavia (Jakarta) setelah membunuh temannya. Di kota ini ia menjadi jongos seorang Belanda, tapi kerjanya menggerogoti harta nyai tuan itu. Kemudian ia jadi perampok dan jatuh cinta pada Lie Gouw Nio (Ku Fung May).

Karena menolak, Tjonat berusaha membawa lari Gouw Nio. Usaha jahat itu dicegah oleh Thio Sing Sang (Herman Sim) yang gagah perkasa.

Sebetulnya cerita ini fiktif, tapi oleh pengarangnya dikatakan "betoel soeda kadjadian di djaman doeloe". Ceritanya pertama kali dimuat secara bersambung di surat kabar "Perniagaan" pada 1903.

9. De Stem Des Bloed atau Njai Siti (1930)

Film bisu ini dibuat pada 1930 oleh Cosmos Film Corp dan disutradarai oleh Ph Catli dan diperankan oleh Annie Krohn, Sylvain, dan Elviera.

Setelah 15 tahun di Eropa, van Kempen (Sylvain) kembali ke Jawa. Dia tak berhasil menemukan Nyai (istri piaraan) Siti serta kedua anaknya, Adolf dan Annie. Sekali waktu Ervine, anak tiri van Kempen yang dibawanya dari Eropa, nyaris celaka. Dia ditolong oleh Adolf.

Kasih antara Adolf dan Ervine yang terjalin sesudahnya, membawa van Kempen kepada yang dicarinya selama ini, yaitu "istrinya" Siti serta kedua anaknya.

Film ini terdiri dari 9 bagian dan film Indonesia pertama dengan panjang penuh. Pengambilan gambar dilakukan di Priangan dan Sumatera. Sebagian diberi warna tertentu.

10. Karnadi Anemer Bangkong atau Karnadi Tangkap Kodok (1930)

Film semi suara ini disutradarai oleh G Krugers dan sempat kontroversial kala itu karena orang Indonesia marah, di mana diperlihatkan orang pribumi makan kodok.

Film ini dianggap sebagai film suara pertama di Indonesia , meski kualitas suaranya buruk dan sebagian adegan tidak bersuara. Alurnya didasarkan pada sebuah novel Sunda ternama berjudul Rasiah Nu Goreng Patut karya Yuhana dan Sukria.

Karnadi adalah seorang pemuda Sunda penangkap kodok yang suka sekali memakan kodok yang ditangkapnya. Ia kemudian mencuri identitas seorang juragan dan mencoba beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Identitas palsunya kemudian ketahuan.

Penulis : Gajah Kusumo
Editor : Gajah Kusumo
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro