Bisnis.com, JAKARTA – Praktik aborsi merupakan proses pengguguran kandungan yang tidak dianjurkan oleh tenaga kesehatan manapun.
Namun, praktik aborsi secara bersyarat diperbolehkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dengan kondisi dan syarat tertentu.
Menurut dr. Ari Kusuma Januarto, SpOG, Obginsos selaku Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), aborsi harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompetensi, seperti tenaga medis (dokter) dan tenaga kesehatan (perawat).
Dokter umum dan spesialis pun memiliki batasan tersendiri. Apabila proses aborsi memerlukan berbagai tahap yang rumit, dr. Ari menyarankan untuk merujuk pasien ke dokter spesialis. Fasilitasnya pun tidak boleh sembarangan, harus memenuhi standar yang telah ditetapkan juga oleh pemerintah.
Usia kehamilan maksimal untuk aborsi
Dalam KUHP tahun 2023, pemerintah menetapkan usia kehamilan maksimal untuk melakukan aborsi adalah 14 minggu. Dr. Ari justru mempertanyakan keputusan tersebut. Pada usia 14 minggu, volume perut ibu hamil akan menjadi semakin besar. Otomatis, risiko pendarahan akan menjadi lebih besar.
Pada usia tersebut, janin sudah tumbuh sebesar 8-10 cm dan sudah memiliki detak jantungnya sendiri. Selama jangka waktu tersebut pun, ibu hamil sudah dapat merasakan dampak-dampak psikologis. Apabila aborsi dilakukan pada waktu tersebut, kondisi mental ibu hamil akan terganggu. Menurut dr. Ari, semakin cepat semakin baik.
Risiko
Meskipun diperbolehkan dalam situasi tertentu, faktanya aborsi tetap memiliki risiko. Dilansir dari Louisiana Department of Health, berikut beberapa risiko aborsi:
1. Infeksi Panggul
Bakteri dari vagina atau serviks dapat menyebabkan infeksi apabila memasuki rahim. Antibiotik dapat digunakan untuk menyembuhkannya. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, Anda mungkin memerlukan penyedotan ulang, rawat inap, atau operasi.
2. Aborsi tidak tuntas
Organ janin atau produk kehamilan lainnya mungkin saja belum sepenuhnya keluar dari rahim pada saat aborsi. Akibatnya, perlu diadakannya prosedur medis lanjutan. Aborsi tidak tuntas dapat mengakibatkan infeksi dan pendarahan.
- Pendarahan hebat dan gumpalan darah di rahim
Pendarahan sangat umum terjadi setelah aborsi. Namun, pendarahan yang hebat (hemoragi) tidak umum terjadi. Hemoragi dapat diobati dengan penyedotan berulang, pengobatan, atau pembedahan. Sementara itu, gumpalan darah pada rahim dapat menyebabkan kram parah–pada 1 persen kasus. Gumpalan darah biasanya dapat dihilangkan dengan kuretase hisap berulang.
- Perforasi dinding rahim
Instrumen medis dapat merobek dinding rahim pada saat proses aborsi. Perforasi dapat menyebabkan infeksi, pendarahan hebat, atau keduanya–tergantung pada tingkat keparahannya. Pembedahan mungkin diperlukan untuk memperbaikinya.
- Sisi Emosional
Perempuan dapat mengalami emosi yang berbeda setelah aborsi. Sebagian di antaranya mungkin merasa bersalah, sedih, atau hampa, sementara yang lain mungkin merasa lega. Dampak psikologis setelah aborsi dapat berupa depresi, rasa sedih, kecemasan, penyesalan, dan lain-lain. Berbagai emosi ini dapat muncul seketika atau secara bertahap.
Edukasi bagi para dukun beranak
Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia (POGI) saat ini masih menemukan praktik aborsi yang dilakukan oleh dukun beranak. Namun, terdapat upaya untuk mengedukasi para dukun beranak tersebut.
“Mereka-mereka itu kita ajak, kita latih” ungkap dr. Ari. Menurutnya, praktik dukun beranak sudah menjadi budaya yang sulit untuk dihapuskan. Maka dari itu, solusi yang dapat diambil sekarang adalah dengan mengedukasi mereka. (Rafi Abid Wibisono)