Bisnis.com, JAKARTA - Jumlah kasus kanker payudara di dunia terutama di Indonesia terus meningkat.
Data GLOBOCAN 2022 menunjukkan bahwa kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak terjadi pada wanita di seluruh dunia, dengan diperkirakan 2.296.840 kasus baru di tahun 2022.
Kanker payudara juga merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita, dengan 666.100 kematian di tahun 2022.
Salah satu tantangan utama dalam kanker payudara adalah kekambuhan setelah pengobatan, bahkan pada pasien dengan stadium awal.
“Risiko kekambuhan tersebut kini bisa diprediksi lebih akurat dengan pemeriksaan genetik,” kata dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD-KHOM dalam Siloam Oncology Summit ke-5.
Data menunjukkan, risiko kekambuhan 3 tahun pasca pengobatan pada stadium 1–2 mencapai 37%, pada stadium 3, risikonya meningkat menjadi 60%.
Salah satu sesi simposium Breast Cancer (Sabtu,17/5), para pembicara membahas tentang peran dan inovasi tes genomik dalam penentuan terapi kanker payudara.
Tes genomik kini menjadi garda depan dalam pendekatan personalized medicine untuk pengobatan kanker. Di antara berbagai jenis kanker, kanker payudara menjadi salah satu yang paling banyak mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi ini.
Melalui analisis ekspresi genetik dari sel tumor, tes genomik mampu memberikan informasi mendalam tentang sifat biologis kanker, risiko kekambuhan, dan respons terhadap pengobatan.
Dengan tes genomik, dokter dapat mengidentifikasi apakah pasien termasuk:
· Low genomic risk: tidak membutuhkan kemoterapi.
· High atau ultra-high risk: membutuhkan terapi tambahan yang lebih agresif.
Beberapa tes genomik yang telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan kanker payudara antara lain MammaPrint. Pemeriksaan ini menganalisis ekspresi 70 gen untuk menilai risiko metastasis pada 10 tahun ke depan. Cocok untuk pasien kanker payudara stadium awal dengan reseptor hormon positif atau negatif, HER2 negatif, dan ukuran tumor kecil hingga sedang.
“Kalau pasien secara klinis tergolong high risk tapi hasil tes menunjukkan low genomic risk, kita bisa menghindari kemoterapi. Ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup pasien, tapi juga menekan biaya medis,” ujar dr. Cosphiadi.
Selain itu, tes genomik dapat membantu menghindari over-treatment, yang sering kali terjadi karena keputusan terapi hanya berdasarkan stadium klinis, tanpa mempertimbangkan karakter molekuler dari kanker itu sendiri.
Terapi yang Lebih Presisi
Menurut dr. Samuel Haryono, Sp.B(K), Onk, era pengobatan kanker kini bergerak menuju precision therapy dan personalized medicine, yaitu pengobatan berbasis profil genetik pasien.
“Masyarakat sering menganggap faktor genetik sebagai vonis sudah pasti akan terkena kanker, padahal hanya menyumbang sekitar 5–10% dari risiko kanker,” jelasnya.
Namun, jika seseorang memiliki mutasi genetik seperti BRCA1 atau BRCA2, skrining dan pencegahan bisa dilakukan lebih awal, termasuk opsi profilaksis atau tindakan preventif lainnya.
Peneliti Ahmad Handoyo Utomo, Ph.D mengungkapkan bahwa teknologi sekuensing kini makin canggih dan biaya tes genomik telah menurun drastis, memungkinkan penggunaannya secara lebih luas.
“Kini pemeriksaan ratusan gen bisa dilakukan dengan biaya lebih terjangkau dibanding 10 tahun lalu,” ujarnya.
Walau begitu, pemeriksaan genetik yang lebih canggih belum bisa diakses di semua rumah sakit di Indonesia. Dengan edukasi yang tepat dan akses yang semakin luas, tes genomik diharapkan menjadi standar dalam pengelolaan kanker modern di Indonesia.