Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumala Sari. Istimewa
Health

Viral Konten Menyimpang, Begini Kata Sosiolog

Choirul Anam
Jumat, 20 Juni 2025 - 12:19
Bagikan

Bisnis.com, MALANG—Maraknya konten "kebebasan berekspresi" yang dianggap menyimpang oleh masyarakat Indonesia kembali memicu perdebatan publik saat ini tak lepas dari pengaruh budaya populer negara Barat yang tak tersaring, sementara masyarakat Indonesia masih kental dengan nilai-nilai timur berbasis agama dan moral.

Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumala Sari, mengungkapkan Sebagian besar netizen mengecam, sementara pelaku kerap berdalih berlindung menggunakan hak asasi manusia (HAenomena ini

“belakangan ini platform seperti TikTok dan Instagram ramai dengan konten-konten yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap "melanggar norma". Mulai dari gaya hidup liberal hingga ekspresi gender non-tradisional,” katanya, Kamis (19/6/2025).

Dia menjelaskan, hal ini dapat terjadi karena generasi muda kerap tergiur oleh realitas budaya populer barat yang mengedepankan kebebasan individu.

Menurutnya, mereka menganggap tindakan mereka sudah benar dan tidak mau disalahkan, dengan mengedepankan hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi mereka tidak melihat konteks budaya yang ada di Indonesia.

Apalagi Indonesia menerapkan budaya Timur dan mengedepankan tradisi, moral, agama, kemudian mereka dengan percaya diri meng-upload-nya di media sosial dengan tujuan agar orang lain dapat melihat kebebasan berekspresi mereka.

Dia menilai, lingkungan yang kurang harmonis seperti keluarga berantakan (broken home) atau pertemanan yang tidak sehat (toxic) juga dapat menjadi pemicu. Lalu, kapasitas spiritual yang rendah membuat mereka mudah terpapar.

Sebaliknya, jika individu mempunyai hubungan keluarga dan pertemanan yang harmonis dan nilai spiritual yang baik, maka hal-hal tersebut tidak akan terjadi. “Orang-orang yang masih memegang konsep-konsep religius, tradisi, agama dan moralitas yang ada di lingkungannya, tentu tidak akan terpengaruh,” katanya.

Selanjutnya, stigma masyarakat terhadap pelaku penyimpangan ternyata dapat memperparah keadaan. Masyarakat jadi tidak percaya, dan hal ini dapat menurunkan kepercayaan diri pelaku.

Menurut Luluk, pendekatan yang terbaik bukanlah penghakiman, melainkan asesmen dan rehabilitasi yang humanis. Ada beberapa tahap yang dapat digunakan untuk penyembuhan penyimpangan.

Melakukan asesmen yakni identifikasi dulu sejauh mana masalahnya. Jika tidak parah, tak perlu direhabilitasi secara keras. Kemudian, lembaga keagamaan dan pendidikan bisa berperan sebagai teman diskusi, bukan menghukum. Karena, sebagai pendidik harus responsif dan humanis dan lembaga keagamaan juga perlu progresif dalam pendampingan.  

Pada tingkat regulasi, kata dia, UU ITE dinilai belum cukup efektif memfilter konten negatif.

Karena itulah, dia menyarankan, kolaborasi lebih ketat antara pemerintah dan platform digital untuk memperkuat sistem filterisasi. Kemudian perlu akan kegiatan penyuluhan dan penegasan aturan terkait konten yang bisa merusak moral.

Tak kalah penting, dia mendorong birokrasi setempat untuk mengadakan lebih banyak kegiatan kreatif bagi anak muda. 
 "Selama ini, kegiatan di desa didominasi ibu-ibu PKK. Anak muda butuh wadah agar tidak terjerumus ke konten negatif," katanya. (K24)

1750336047_294e54f6-9596-41f4-b6de-7523bee9003d.
1750336047_294e54f6-9596-41f4-b6de-7523bee9003d.

Penulis : Choirul Anam
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro