Ghost in the shell/
Entertainment

Evolusi Manusia dalam Ghost in The Shell

Newswire
Rabu, 29 Maret 2017 - 12:16
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Kisah tentang robot manusia memang sudah tidak asing lagi, bahkan telah ada sejak sutradara James Cameron mencipta film fiksi ilmiah "The Terminator" pada 1984, di mana robot T-800 yang diperankan Arnold Schwarzenegger yang menghadirkan pertempuran antara umat manusia yang hampir punah dan robot dengan kecerdasan sintesis. "Ghost in the Shell" berputar pada kisah yang tidak sejauh itu: manusia yang berevolusi untuk meningkatkan diri.

"Ghost in the Shell" sendiri berasal dari komik Jepang tahun 1989 yang kemudian diadaptasi menjadi film animasi oleh Mamoru Oshii pada 1995. Dua puluh dua tahun kemudian, film animasi tersebut dibawa kembali ke layar lebar oleh Rupert Sanders dengan menghadirkan Scarlett Johansson sebagai pemeran utama.

Sanders yang sebelumnya mengarahkan "Snow White and the Huntsman" (2012), sepertinya agak kesulitan untuk menghadirkan live-action karya Oshii yang juga mengingatkan pada film fiksi ilmiah yang dibintangi Keanu Reeves "The Matrix" (1999).

Tidak sepertinya ide ceritanya ingin tampilkan, Sanders seakan kehilangan ghost atau roh yang dikisahkan ada pada otak robot, dan menyisakan shell atau badan robot. Sanders fokus pada visual dibandingkan dengan ide dari cerita film tersebut.

Visualisasi yang ditampilkan Sanders untuk membangun setting bisa dibilang ciamik. Dengan teknologi komputer tingkat tinggi Sanders menggambarkan kota Tokyo yang futuristik dengan layar LCD di setiap bangunan dan proyeksi hologram di hampir setiap sudut kota.

Tidak hanya itu, Sander bisa dikatakan berhasil meyakinkan penonton bahwa pada masa itu manusia berevolusi meningkatkan kemampuan mereka dengan menambah bagian tubuh sintesis.

Hal itu terlihat ketika operasi robotik untuk bagian tubuh ditawarkan di pinggiran jalan bak pelayan restoran menawarkan menu makanan, termasuk penampilan si tokoh utama Major atau Mira atau belakangan diketahui bernama asli Motoko Kusanagi, dan para tokoh lainnya.

Pemilihan Scarlett Johansson untuk memerankan tokoh utama juga membawa cerita tersendiri. DreamWorks mendapat kritikan pada 2016 saat menawarkan peran robot setengah manusia itu kepada Johansson yang dianggap sebagai praktek whitewashing di mana aktor kulit putih memainkan karakter non-putih), sementara karakter tesebut dalam komik asli dan film animasi adalah seorang berkulit kuning atau orang Asia.

Whitewashing kemungkinan dilakukan oleh studio produksi Hollywood untuk menarik lebih banyak penonton Asia, atau mungkin merupakan strategi bagi perusahaan distributor film, dalam hal ini Paramount Pictures, untuk menjelah peta yang lebih luas untuk film-filmnya.

Terlepas dari itu, "Ghost in the Shell" masih membawa napas Jepang dalam film dengan menghadirkan pemilik "Benteng Takeshi (Takeshi's Castle)", aktor Takeshi Kitano, yang berbahasa Jepang sepanjang film.

Lebih dari itu, film tersebut tampil "berwarna" dengan kehadiran aktor dan aktris dari berbagai penjuru dunia di antaranya aktor asal AS Micahel Pitt (Kuze), aktor asal Denmark Pilou Asbæk (Batou), aktor asal China Chin Han (Togusa), aktris asal Prancis Juliette Binoche (Dr. Dr. Ouélet) dan aktor asal Australia keturunan Fiji Lasarus Ratuere (Ishikawa).

"Ghost in the Shell" sepertinya cukup merayu para penggemar manga (komik Jepang) dan anime Jepang untuk datang ke tempat pemutaran, sebelum hilang dari ingatan, tidak seperti "The Terminator" atau pun "The Matrix" yang lekat dalam kenangan.

Penulis : Newswire
Sumber : Antara
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro