Sepasang mata Edo Kondologit menatap tajam memperhatikan sebuah lukisan berjudul "Jahil" hasil jepretan Jenfilia Suwandrei Arifin yang dipajang pada Pameran Foto dan Patung "Asmat: The Spirit of Agats" yang digelar oleh Profesional & Usahawan Katolik Keuskupan Agung Jakarta.
Foto tersebut menggambarkan kehidupan sejumlah anak warga Agats saat berenang di sungai. Jenfilia, sang fotografer menangkap momen dengan bidikan pas saat seorang anak menceburkan seorang teman lainnya.
"Ini potret kehidupan asli Papua. Lihat, saya pernah merasakan hal yang sama dengan apa yang ada di foto ini," ungkapnya kepada Bisnis saat ditemui di lokasi pameran di West Mall Grand Indonesia, Kamis (18/04/2013).
Bagi Edo, pameran foto yang digelar khusus mengangkat kaum Asmat itu merupakan sebuah kepedulian sosial yang tinggi dengan cara berbeda.
Jejak dan rekam sejarah bisa menerap kuat diabadikan melalui jepretan-jepretan unik yang mampu membangkitkan emosi bagi pengunjung.
Pameran yang menampilkan 122 koleksi foto Asmat bidikan lima fotografer baik profesional maupun awam itu antara lain Jenfilia Suwandrei Arifin, Robert Ramone, Brunoto Suwandrei Arifin, Budhi Ipoeng dan Vincent Cole.
Sebagai pengunjung yang mewakili warga Papua, emosi Edo naik turun saat memperhatikan satu persatu foto yang dipamerkan. Dia menunjuk salah satu karya Vincent Cole berjudul "Kemana?", yang dicetak di atas kanvas dengan harga jual Rp7,5 juta.
"Dan itu, saya sangat suka sekali. Itu wajah anak-anak asli dalam kehidupan sehari-hari," katanya menunjuk satu foto yang menggambarkan wajah dengan bidikan close up menceritakan kebingungan seorang anak.
Penyanyi Jazz asal Sorong, Papua Barat itu berharap dengan digelarnya pameran foto dan patung tersebut setidaknya mampu menggerakan hati pengunjung bahkan pemerintah sekalipun akan kepedulian kaum Agats.
"Ini pameran luar biasa karena mengangkat potret kehidupan masyarakat Papua. Di mana ketimpangannya sangat jelas dengan Jakarta. Budaya mereka harus dipertahankan seperti ini, tapi taraf hidup mereka yang harus ditingkatkan," ujarnya.
Nama Asmat sendiri di kancah internasional sudah menggaung dengan karakter kebudayaannya yang melekat. Terlebih, pada 1960-an Michael Rockafeller, putra Gubernur New York, Amerika Serikat, Nelson Rockafeller saat itu sempat merambah pedalaman Asmat.
Michael mengumpulkan berbagai keunikan ukiran Asmat untuk dipamerkan di Museum of Primitive Art, New York pada waktu itu.
Pameran ini salah satunya bertujuan mengangkat kekhasan dan keistimewaan hasil budaya kehidupan Suku Asmat di tengah himpitan modernisasi. Tak lupa, patung-patung hasil ukiran kaum Asmat juga dipamerkan.
Dana hasil penjualan foto dan patung tersebut nantinya akan digunakan untuk menyumbang keuskupan di Agats. Harga untuk foto berkisar mulai dari Rp5 juta-Rp7,5 juta, sementara untuk patung dipatok hingga belasan juta.
Kondisi Agats, menurut data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat menyebutkan, penyakit malaria masih mendominasi sekitar 28%, infeksi saluran nafas 19% dan diare 10%.
Penyakit-penyakit lain seperti filariasis (kaki gajah), cacingan, kurang gizi, frambusia (penyakit infeksi kulit) dan AIDS masih menghantui, lain lagi di distrik Mumugu, Kabupaten Asmat diketahui 199 penderita kusta dari total 322 penduduk.
Kondisi lingkungan Agats juga yang dikelilingi hutan lebat, sungai lebar dan dalam yang ketika air laut pasang akan menggenangi seluruh wilayah, sehingga daratan selalu tertutup air dan tanah berlumpur.
Untuk itu, seluruh jalan penghubung terbuat dari kayu dengan rumah panggung yang juga terbuat dari kayu sebagai tempat berlindung.
Sementara, seni ukir atau patung yang dipamerkan menggambarkan nilai keluhuran suku Asmat. Ukiran pada tifa, tombak, pinggan, perahu dan sejumlah karya lainnya memperlihatkan seni estetika menyangkut filsafat pandangan hidup suku Asmat.
Keselarasan dan keharmonisan hidup bersama dengan alam serta seluruh isinya menjadi nafas utama yang dihembuskan dalam setiap hasil karya seninya.
"Di daerah ini masyarakat Asmat hidup dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan berpegang pada nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur. Keluhuran hidup mereka pun tercermin dalam rangkaian foto pameran ini," ujar Aloysius Murwito, Uskup, Keuskupan Agats.
Namun, akses untuk menjangkau Agats tidak semudah membalikan telapak tangan. Lokasi yang relatif sulit dijangkau--Bandara Ewer, satu-satunya akses masuk lewat udara yang hanya didarati pesawat-pesawat kecil membuat kawasan itu relatif terpencil.
Jenfilia, sang fotografer mengaku memiliki pengalaman yang tidak mudah dilupakan saat mengabadikan foto-foto Agats tersebut.
"Banyak banget nilai yang saya dapat di Agats. Saya ke sana memburu nilai-nilai seni dan budaya. Dan ternyata mereka luar biasa, karena apa yang mereka lakukan datang dari jiwa yang dalam," katanya.