Bisnis.com, JAKARTA- Senin pekan ini, saya baru saja duduk dan menyalakan netbook di sebuah toko kelontong di kawasan Cikini Jakarta. Saya dikagetkan dari belakang oleh seorang gadis berseragam putih. “Pak pinjem apinya dong,” katanya. Mungkin yang dia maksud adalah meminjam korek untuk menyalakan rokoknya.
“Gak ada, pakai rokok aja,” kata saya sembari memberikan rokok padanya. Tak sampai 10 detik, dia langsung memberikan kembali rokok saya. Gadis berseragam sekolah itu lalu mengambil kursi dan membetulkan posisi duduk. Satu per satu rekannya berdatangan. Mencari kursi kosong lantas membuat sebuah lingkaran. Oh, saya baru tahu, mereka ternyata masih pelajar SMP. Saya lihat dari logo dan nama sekolah di baju seragamnya.
Saya perhatikan sejenak keberadaan mereka. Maklum, posisi duduk pelajar itu tepat persis di hadapan saya. Rokok yang disulut gadis itu digilir ke beberapa temannya. Mereka berbicara keras. Sesekali tertawa lepas. Sesekali cekikikan. Tak lama, mereka bubar entah ke mana.
Saya sempat tak habis pikir, keberanian gadis itu meminjam api untuk menyalakan rokok. Setelah diperhatikan, di sekeliling toko kelontong penuh dengan pengunjung dewasa. Dalam hati saya berkata, “ini anak gak malu apa merokok di depan umum pakai seragam.”
Sebetulnya, bukan satu dua kali saya menemukan perilaku seperti para gadis itu. Dalam beberapa kesempatan bahkan saya kerap melihat para gadis belia dalam satu tongkrongan. Dan seketika, mereka pergi meninggalkan tempat menggunakan sepeda motor. Fenomena ini sepertinya tak asing di kuping saya: fenomena cabe-cabean.
Ya, setelah mengenal istilah anak muda alay, lebay, jablay, kini tengah heboh satu fenomena cabe-cabean. Bahkan beberapa media sosial menjelaskan sejumlah ciri-ciri cabe-caben yang distigmakan sebagai anak baru gede nakal.
Beberapa ciri cabe-cabean antara lain sering update status di media sosial, pacaran di sembarang tempat, pasang foto editan di media sosial dan menggunakan pakaian serba ketat. Ciri yang lebih terkenal lagi adalah B3 alias menggunakan ponsel blackberry, gigi berbehel dan rambut berponi.
Efnie Indriani, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranata mengatakan fenoma cabe-cabean memang sudah terjadi hampir dua tahun belakangan ini. Rerata perilaku tersebut dialami oleh anak berusia tanggung yang ingin eksis dalam sebuah kelompok atau grup yang mereka naungi.
“Jadi jika salah satu dari mereka ada yang tidak berulah menyerupai kelompoknya, maka seseorang itu tidak akan diakui keberadaannya. Tak heran jika mereka kerap bertingkah sama,” katanya kepada Bisnis.
Keberadaan gadis cabe-cabean memang perlu dikhawatirkan oleh kalangan orangtua. Fenomena tersebut lebih berkesan negatif lantaran bisa saja mencoreng nama baik keluarga dan institusi. Kebiasaan berkelompok dan ugal-ugalan di tengah jalan menggunakan motor berboncengan, bisa membahayakan keselamatan. Bahkan, dalam kondisi tertentu tidak menutup kemungkinan kelompok remaja tanggung ini memiliki hasrat untuk mencoba mengkonsumsi drugs dan minuman alkohol.
Sikap untuk mewaspadai sebaiknya dilakukan orangtua sedini mungkin. Tentu saja orangtua tidak langsung melarang jika anak gadisnya pamit pergi bersama teman-temannya. Karena, semakin dilarang, anak akan semakin frontal dan melawan.
“Alangkah baiknya orangtua mengajak bicara anak secara baik-baik. Ikutin kemauan mereka. Kalau perlu orangtua bisa masuk ke dalam dunia mereka agar proses interaksi bisa berjalan dengan lancar. Dan si anak merasa punya teman bicara yang menyenangkan, di situlah orangtua bisa memberikan masukan positif,” katanya.
Fenomena cabe-cabean adalah satu produk budaya moderen yang tidak terlepas dari kehadiran teknologi. Pengaruh media sosial dan gadjet menjadikan pola pikir anak remaja tanggung kerap dihinggapi keingintahuan yang berlebihan. Hal tersebut memang tidak bisa dicegah secara sekaligus, meskipun tidak semua kehadiran media sosial dan gadjet berdampak buruk bagi perkembangan anak.
Efnie menjelaskan, jika saja kesabaran semua pihak baik orangtua maupun anak sendiri bisa dikontrol, pikiran positif akan selalu hinggap di setiap otak anak. Pengalihan paradigma positif ini bisa dilakukan dengan melihat kemampuan potensi anak.
Dia memberi contoh, jika anak senang gadjet dan maniak internet, orangtua bisa mengalihkan kemampuan anak melalui perilaku positif yang diciptakan. “Misalnya di internet sering ada lomba tulis, game dan quiz, doronglah anak untuk ikut. Atau misal jika anak sering kebut-kebutan di jalan, doronglah mereka untuk ikut klub resmi balap supaya keinginan mereka terarahkan.”
Efnie menambahkan yang harus diwaspadai orangtua justru menghindari pembatasan kemauan anak dengan cara yang tidak fair. Karena, lanjutnya, salah satu alasan anak terjerumus ke dalam perkumpulan remaja yang tanggung seperti cabe-cabean justru karena sikap orangtua yang tidak bisa membuat anak bahagia.
“Bisa saja di ketika rumah, anak selalu bersikap manis dan baik. Tetapi siapa tahu di luar, anak terkenal sebagai gadis nakal yang kerap membuat ulah dengan kelompoknya,” tutur Efnie.