Bisnis.com, JAKARTA- Suatu malam pada 23 Januari 2014. Waktu menunjukan sekitar pukul 22.00 WIB. Adi Marsiela, seorang jurnalis asal Bandung blusukan mencari sebuah tempat yang pas untuk memotret Jembatan Pasupati Bandung.
Dia menyusuri gang-gang kecil di kepadatan rumah kawasan Pasteur tepatnya bawah Jembatan Pasupati. Tekadnya hanya satu: dia ingin mengabadikan kerlap-kerlip lampu yang menerangi jembatan ikon Bandung itu.
“Saya pulang ke rumah hampir jam satu malam. Mencari titik yang terbaik untuk memotret Pasupati dan Gedung Sate di malam hari. Lihat hasilnya, foto ini saya ambil dari bawah jembatan,” kata Adi kepada saya sambil memperlihatkan hasil jepretannya.
Pekan lalu, sebuah perusahaan produsen lampu PT Philips Indonesia memberikan sebuah penerangan untuk dua ikon Bandung yakni Gedung Sate dan Jembatan Pasupati. Dalam program Kota Terang Philips LED, Bandung menjadi kota penerangan pertama pada 2014. Sebelumnya, penerangan dilakukan di Jakarta, Surabaya, Bali dan Yogyakarta.
Dalam beberapa detik, kedua ikon Bandung itu berganti warna menjadi hijau, ungu, merah dan biru. Warna-warni dihasilkan dari inovasi produk perusahaan asal Belanda itu. Dampak dari adanya penerangan tersebut cukup besar. Warga mendadak ramai-ramai mengunjungi sekadar memotret atau menyaksikan keindahan cahaya yang indah itu.
Program Kota Terang Philips LED 2014 juga melaksanakan serangkaian Roundtable Kota Layak Huni atau Livable Cities yang dimulai pada 2013. Philips bekerja sama dengan pihak Pemerintah Daerah setempat, akademisi, asosiasi profesional dan sektor swasta untuk mendiskusikan solusi membuat perkotaan di Indonesia menjadi lebih aman, inklusif dan berkelanjutan.
Ryan Tirta Yudhistira, Director of Marketing Management, Philips Lighting Consumer, PT Philips Indonesia, menjelaskan setiap tahunnya, jumlah orang yang tinggal di perkotaan terus meningkat. Hal tersebut menjadi salah satu alasan pihaknya membuat sebuah kota menjadi lebih layak huni.
“Ini adalah cara Philips menghubungkan inovasi pencahayaan terintegrasi dan kemitraan dengan pemerintah setempat. Kami coba memberikan solusi berkelanjutan untuk menyinari ikon kota dan mendukung masyarakat untuk menggunakan solusi energi,” paparnya.
Ren Katili, Architecture Lecturer, Binus University mengatakan pencahayaan merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah kota. Selain bisa meminimlisasi kecelakaan, pencahayaan yang tercover dengan baik berpotensi mengurangi kriminalitas.
Dia memberi contoh, sebuah jalanan gelap dan kosong memungkinkan menjadi tempat kriminalitas bagi para penjahat. Tetapi jika jalan tersebut cukup terang, orang akan merasa takut melakukan kejahatan. Penerangan kota, ungkapnya, harus bisa memberikan kenyamanan siang dan malam.
Ada dua titik penerangan kota yang harus diperhatikan. Pertama, penerangan berkonsep human comfort atau titik di mana publik kota yang menjadi tempat berkumpul. Halte bus, misalnya merupakan salah satu tempat yang wajib diterangi.
“Manusia memiliki zona nyaman sekitar 3 meter dari manusia lain. Artinya, jika ada penerangan yang cukup, sesama manusia akan merasa nyaman. Berbeda jika kondisi gelap, mereka akan takut satu sama lain meskipun tidak ada potensi berbuat jahat,” paparnya.
Titik penerangan kedua adalah city image. Konsep ini berorientasi di mana kota harus menjadi petunjuk arah bagi publik. Misal, petunjuk arah yang berada di sepanjang ruas jalan mesti mendapatkan penerangan yang baik. Selain akan memudahkan publik secara umum, penerangan menjadi faktor hidupnya sebuah kota.
Konsep city image juga menjadi luas dengan hadirnya penerangan berteknologi tinggi. Kini, kota memiliki pencahayaan yang bukan hanya berfungsi sebagai penerangan semata. Unsur estetika malah lebih ditonjolkan untuk mencapai seni pencahayaan yang menarik pandangan mata.
“Kita bisa melihat contoh Jembatan Pasupati dan Gedung Sate. Fungsi keduanya bukan hanya sekadar ikon Kota Bandung, tetapi sudah menjadi objek wisata malam hari bagi penduduk,” paparnya.