Bisnis.com, JAKARTA – Pencak silat atau silat ternyata menyimpan keluhuran nilai yang setara dengan kung fu Shaolin dari China atau bela diri Jepang yang mengajarkan semangat bushido, apalagi cuma dibandingkan dengan tinju yang benar-benar kekerasan an sich.
Silat itu bukan sekadar ilmu bela diri tradisional—dalam pengertian yang kurang pas. Apalagi segala sesuatu yang dilabelkan tradisional biasanya berati ketinggalan zaman, norak bahkan kampungan.
Di tangan seorang Edwin Hidayat Abdullah, keajaiban silat itu diungkap lewat bukunya berjudul Keajaiban Silat: Kaidah Ilmu Kehidupan dalam Gerakan Mematikan.
“Di silat ada filosofi kehidupan yang ternyata amat sesuai dengan kaidah-kaidah modern,” kata Edwin dalam acara peluncuran bukunya di Gramedia Pondok Indah Mall 1, Sabtu (22/2/2014).
Hadir dalam peluncuran buku tersebut Eddie Nalapraya, mantan Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia yang menjadi tokoh silat dunia, Taufik Abdullah (sejarahwan), Parni Hadi, Jurnalis senior, pegiat sosial yang juga pendekar Silat, dan Eryanto Nugroho (Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan).
Ketika membaca halaman pembuka dalam Sekapur Sirih dan Welcome Drink buku Keajaiban Silat; Kaidah Ilmu Kehidupan dalam Gerakan Mematikan, kesimpulan saya bahwa silat itu ketinggalan zaman dan norak mendapatkan sanggahan.
Edwin memberikan ucapan selamat kepada para guru dan seniornya. Tertulis nama H. Ceng Suryana, Alm Lazuardi Malin Maradjo, Babe Husin, Edwel Datuk Gampo Alam, H. Azis Asy’ari yang bisa saya simpulkan adalah mereka yang termasuk pendekar silat.
Namun, masih dalam paragraf yang sama, Edwin menulis ucapan terima kasih itu untuk Dr Otto Schammer, Dr Peter Senge, dan Dr Ben Chan. Ketiga orang ini adalah gurunya ketika menimba ilmu di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan School of Management, Boston, Amerika Serikat. Anda tahu, mereka itu adalah pakar tentang ilmu manajemen papan atas di Amerika Serikat.
“Singkat cerita, saya pun berangkat untuk belajar selama hampir setahun di bawah bimbingan tim dari MIT. Di situ saya diperkenalkan dengan Otto Scharmer, seorang profesor di sana.
Yang menarik pada diri sang profesor: dia memasukkan kebijakan Timur dalam penyusunan teori universal yang berguna bagi leadership dan manajemen secara keseluruhan, yakni Teori U.
Teori ini mengatakan bahwa untuk mencapai sesuatu hal, seseorang harus mengoperasikan semua potensi yang ada di sekeliling dirinya, yaitu kekuatan berpikir, empati (heart), dan kehendak (will).
Kita diajarkan untuk melihat segala hal dengan terbuka; yaitu dengan pikiran terbuka, hati terbuka, dan kehendak terbuka. Dengan begitu, kita tidak akan bertindak sebelum memahami persoalan secara detail, baik dari sisi logika, rasa, dan kehendak.”
Ternyata Edwin lebih dulu untuk tahu ternyata filosofi silat begitu tinggi. Pandangan Otto Scharmer ternyata mirip sekali dengan kaidah-kaidah dalam ilmu silat yang Edwin pelajari. Kenyataan itulah yang memaksa Edwin untuk menulis buku Keajaiban Silat ini.
Silat bukan sekadar bela diri. Bahkan, Edwin menulis,
“beberapa bulan sebelum berangkat ke Boston, saya bertemu dengan Lazuardi Malin Marajo, seorang guru besar perguruan Silek Kumango (Silat Kumango) di Batu Sangkar, Sumatera Barat. Lazuardi Malin Marajo kini telah berpulang ke Rahmatullah.
Dalam keadaan santai ketika itu, saya bertanya kepadanya, “Belajar silat itu untuk apa?” “Berkelahi?” kata saya. Lazuardi menjawab, ”Salah!” Ia kemudian menjelaskan tujuan belajar silat. Ada empat tujuan dalam hal ini.
Pertama, beribadah atau mengenai Tuhan melalui diri sendiri. Kedua, menjalin silaturahmi. Ketiga, menjaga kesehatan. Keempat, melestarikan budaya.
Di mana letak bela dirinya? Tidak ada.”
Dalam buku Keajaiban Silat, Edwin mengupas tuntas makna di balik kaidah-kaidah silat disandingkan dengan ilmu manajemen kontemporer. Sebagai misalnya, Edwin bercerita bagaimana kaitan silat dengan ilmu leadership, bisnis, organisasi, manajemen konflik, dan manajemen ambisi.
Saya pun menjadi sulit mendudukkan Edwin sebagai apa. Apakah dia pesilat yang mempelajari ilmu manajemen di MIT dan Harvard atau lulusan Amrik yang mendalami silat?
Buku Keajaiban Silat begitu mendekatkan Cikalong, Jawa Barat, dengan Boston, Amerika Serikat. Cikalong adalah tempat Edwin menuntut ilmu silat, Boston adalah tempat dia mengenyam ilmu manajemen.
Jadi jangan salah, silat bukan cuma buk gedebuk dan ciyat-ciyat seperti di layar televisi atau bioskop. Dan silakan baca Keajaiban Silat untuk tahu kaidah-kaidah dalam warisan nenek moyang itu. (Bisnis.com)