/google images
Entertainment

Menengok Industri Film Indie

Agnes Savithri
Senin, 29 September 2014 - 14:18
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Film independen atau lebih sering disebut dengan film indie mulai memiliki tempat di hati penikmatnya. Harus diakui, penikmatnya masih terbatas hanya kalangan tertentu. Tidak sedikit pula yang masih beranggapan film indie merupakan film berbiaya rendah dengan teknik sinematografi terbatas.

Dunia perfilman di Indonesia kembali ramai dengan hadirnya film Cin(t)a pada 2009. Film independen ini mengambil tema umum namun kontroversial untuk dibicarakan, soal percintaan dua orang dengan kepercayaan yang berbeda.

Film besutan Mira Lesmana ini hanya ditayangkan di beberapa bioskop besar namun bertahan hingga dua bulan penayangan. Tidak berhenti di situ, film independen terus berkembang dengan tema-tema yang berbeda dari film mainstream.

“Film indie bagi saya adalah film yang memiliki kebebasan dalam bersuara,” tutur Sofyana Ali Bindiar, sutradara film pendek.

Menurut pria yang akrab dipanggil Ale ini, film indie harus mencakup bagian persoal dari si pembuat film yang ingin disuarakan. Bagian personal ini merupakan respons dari hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitar.

Misalnya pada salah satu film pendek yang pernah dia garap bersama kawannya berjudul Lembar Jawab Kita. Film pendek ini merespons keadaan sistem pendidikan di Indonesia yang masih memerlukan pembenahan terutama Ujian Nasional.

“Indie itu adalah spirit, bukan film pesanan,” tutur Ale.

Masyarakat salah kaprah menganggap bahwa film indie merupakan film yang tidak ada budget atau yang tekniknya berantakan. Dia pun menyayangkan di Indonesia belum ada industri perfilman yang mapan seperti di luar negeri.

Hollywood menjadi salah satu contohnya. Hollywood memiliki pembagian yang jelas mengenai film indie dan film mainstream. Film mainstream adalah film yang diproduksi oleh studio besar seperti Disney, Century Fox atau Warner Brothers. Sedangkan film indie merupakan film yang diproduksi oleh studio di luar studio besar. Tentunya pesan dari film yang disampaikan pun berbeda.

Menurut Ale, regulasi pun masih menjadi salah satu kendala dari industri perfilman. Suatu industri bisa maju tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Perfilman Korea pun pernah mengalami hal yang serupa dengan Indonesia saat ini pada tahun 60-70an. Namun, filmmaker di sana berani melakukan perlawanan. Sehingga pemerintah Korea lebih sadar terhadap perkembangan filmnya.

Kebijakan pemerintah saat ini jika ada film Hollywood yang masuk ke Korea, akan dikenakan pajak dan dari pajak itu membantu menghidupkan produksi film-film lokal.

Tidak hanya seputar regulasi, karena belum jelasnya status industri perfilman di Indonesia maka pembuat film indie pun kesulitan mencari pinjaman ke bank, karena tidak memiliki jaminan yang pasti. Namun semua kendala tersebut menjadi tantangan pembuat film, tambah Ale.

Film indie memiliki banyak tema. Kembali lagi karena isinya yang bukan pesanan melainkan kebebasan dari filmmaker. Ale menambahkan dari sisi pembuat film mereka mengharapkan filmnya tersebut membangun penyadaran kepada masyarakat dari film bertemakan sosial.

Penulis : Agnes Savithri
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro