Bisnis.com, JAKARTA - Mengapa artikel ini saya beri judul seperti itu? Ya, itu gara-gara guyonan Mbah Marsan, pimpinan Wayang Orang Bharata yang tiba-tiba memancing emosional orang Minang. Di Panggung Galeri Indonesia Kaya tempat digelarnya wayang jurnalis, Mbah Marsan yang berperan sebagai Bagong, bercerita tentang uniknya orang Minang naik motor. Dia bilang, ketika motor distarter bunyinya "ciek-ciek", eh ketika digas bunyinya jadi "rendang-rendang."
Sontak si Petruk pun membalas dengan bahasa Minang yang tak dimengeri oleh Mbah Marsan yang orang Jawa. Petruk bilang bahwa orang Padang itu artinya pandai dagang, sedangkan saudaranya orang Batak dinamakan begitu karena merupakan singkatan dari banyak taktik. Lantas apa kepanjangan orang Jawa? "Ya orang Jawa itu artinya jaga wibawa," kata Petruk kepada Bagong. Bagong pun terdiam. Jaim, dia jaga wibawa. Sedangkan orang Betawi itu "suka becanda, takwa tapi tetap jaga wibawa." Hadirin pun gerrr.... Maklum, Petruk sesungguhnya orang Betawi.
Petruk lantas nyerocos dengan bahasa Minang yang fasih. Muncullah petatah-petitih dari ranah Minang. "Indak karuah nan indak tajaniahkan, indak kasuek nan indak tasalasaikan," kata Petruk. Lantas penonton terbahak, mungkin sembari bertanya-tanya "Kok Petruk yang Jawa berbahasa Minang?" Orang Minang sendiri menyebutnya sebagai kecek Minang. Bagong, eh Mbah Marsam makin bingung.
Tak puas menyemprot Bagong dengan petitih tadi, Petruk pun melanjutkan pribahasa yang bertujuan mencari solusi dan hentikan perdebatan. "Bulek aia di pambuluah, bulek kato di mupakek." Arti harfiahnya adalah "bulat air di pembuluh dan bulat kata di mufakat." Setiap perselisihan pasti bisa diselesaikan secara mufakat.
Maklum, perseteruan Bagong (Mbah Marsam), Gareng (Didik Supriyanto, Pemimpin Redaksi Merdeka.com) dan Petruk tak berujung. Masing-masing mempertahankan argumentasinya sendiri soal suksesi di negara pewayangan Dwarawati. Petruk kemudian memanggil Semar (Ninok Leksono, wartawan senior Kompas) untuk menjelaskan tentang siapa yang akan mendapatkan wahyu cakraningkat sehingga kelak menjadi raja.
Romo Semar lalu menceritakan kisah suksesi ala pewayangan kepada para jurnalis yang main wayang. Makanya dinamakan Wayang Jurnalis. Istilah ini menarik karena belum pernah digunakan meski pada praktiknya ada jurnalis yang pernah bermain wayang. Ninok Leksono, misalnya, pernah juga bermain bersama WO Barata. Begitu pun Indah Arani dari majalah Dewi.
Kok bisa wartawan main wayang? Ini tak lepas dari peran aktif si cantik Trishi Gemintang Nashayu, bos Image Dynamic, yang berhasil merayu para jurnalis mulai dari reporter hingga pemimpin redaksi untuk akting di atas pentas dan melestarikan budaya bangsa. Pemain Wayang Jurnalis ini a.l. Moko Ardi Diko, Hera Khaerani, Mikhail Teguh Pribadi, Titin Natalia, Beatrix Imelda, Sandra Ratnasari, Mega Laraswati, Gumulya Daria, Donna, Marcelina Rosiana, Ayu Chan, Al sobri, Mate Tampan, dan Wella. Dalam pementasan yang digelar pada 2 Oktober ini, para pemain hanya tak lebih dari tiga kali berlatih. Dalam gelaran Wayang Jurnalis bertajuk 'Wahyu Cakraningrat ini, jurnalis yang terlibat antara lain dari Bisnis Indonesia, Kompas, Media Indonesia, Merdeka.com, Tembi Rumah Budaya, Majalah Femina, Dewi, Hai, Good HouseKeeping, Esquire dan Trans TV.
Acara ini digelar dalam rangkaian acara ulang tahun pertama Galeri Indonesia Kaya. Sang sutradara, Kenthus Ampiranto, puas dengan para pemain. Ia mengatakan meskipun baru pertama kali tampil, namun sukes mengocok perut penonton. Renita Sari, Program Director Djarum Bakti Budaya tampak terpingkal-pingkal.
Dalam gelaran yang berlangsung 2 jam ini, pementasan diakhiri dengan perkenalan masing-masing pemain dan asal media yang dibacakan oleh Indra Bekti yang tampil sebagai dalang. Kapan manggung lagi?