Bisnis.com, JAKARTA - Seorang mahasiswa berkacamata, mengenakan kemeja putih berlengan pendek, singgah di depan sebuah toko buku. Pandangannya menyapu setumpuk buku yang tersusun di atas rak tak jauh dari tempatnya berdiri. Tak berselang lama, seorang perempuan berbadan besar dan rambut diikat karet menyapanya ramah. “Cari buku apa, Mas?” Tanyanya dengan logat daerah yang kental.
“Buku Kalkulus Dasar II ada ga, Bu?” pemuda itu balik bertanya. “Oh, tunggu sebentar,” jawab si perempuan cepat dan segera masuk ke dalam bilik yang terletak di antara rak-rak buku yang tinggi. Dengan cekatan dia menyisir punggung-punggung buku di balik rak tersebut dan segera menemukan sebuah buku bersampul biru muda berjudul Kalkulus Dasar II. “Yang ini kan, Mas?” katanya lagi sambil menunjukkan buku yang ditemukan.
Si pemuda menerima buku tersebut. Dia membolak-baliknya seperti sedang menaksir sesuatu. “Pasnya berapa, Bu?” Tanyanya tanpa basa basi. Si penjual lalu mengambil buku tersebut dan menunjuk harga yang tertulis di stiker kertas kecil yang menempel di pembungkus plastik tipis buku tersebut. Di situ tertera angka Rp210.000. Pemuda tersebut mengernyitkan dahi sambil menggaruk kepalanya. “Mahal banget, Bu. Ga kurang nih? Rp50.000 saja lah ,” katanya.
Si penjual menolak. “Ga nyampe Mas [kalau] harganya segitu, paling mentok Rp 60.000,” jawabnya. Si pemudapun menaikkan tawarannya menjadi Rp55.000. Namun, si ibu penjual menolak. Akhirnya pemuda tersebut menyerah dan membatalkan niatnya membeli buku. “Yah, begitulah. Kadang ada yang beli, kadang tidak,” ujar Amel, perempuan penjual buku tersebut kepada Bisnis.com.
Dia berkisah bahwa semenjak menjual buku di Jl. Stasiun Pondok Cina Depok, pembelinya sebagian besar adalah mahasiswa yang mencari buku-buku murah. Sementara itu, stiker harga yang ditempelkan di buku menunjukkan angka yang mahal karena merupakan strategi jualan. Di sisi lain, stiker itu juga untuk menunjukkan bahwa buku tersebut sulit dicari.
Dia mengakui tak semua buku yang dia jual adalah buku legal. “Banyak juga yang copy [bajakan]," akunya. Dia pun sadar hal tersebut memang tak patut dan melanggar undang-undang. Namun dibalik itu, bagi si mahasiswa yang perlu membeli buku berkualitas atau langka tapi terkendala dana, buku bajakan tersebut juga membantu.
Pendapat Amel serupa dengan pendapat para pedagang buku bajakan di Pasar Senen. Mereka mengatakan bahwa sebagian besar pembeli adalah mahasiswa yang memang sengaja mencari buku murah. Lokasi yang tepat berada di belakang pos polisi di Terminal Pasar Senen itu adalah salah satu lokasi favorit para pencari buku bajakan nan berharga super miring.
Penjual di sini juga terang-terang mengaku menjual buku ilegal. “Ya ga ada yang asli. Kan kalau yang asli mahal. Biar rakyat kecil juga bisa baca,” kata salah seorang penjual perempuan yang enggan disebut namanya.
Asep Khudori, mahasiswa Universitas Fatahillah yang ditemui Bisnis.com saat membeli buku di Pasar Senen menyebutkan membeli buku di sini lebih mudah. Selain karena harga yang miring, buku-buku di sini lebih lengkap.
Begitu pula dengan Sulaiman Maknoen yang sengaja datang dari Tangerang untuk mencari buku Harry Potter versi bahasa Inggris dan kamus bahasa Inggris karya Longman untuk anaknya. “Sengaja cari buku di sini. Kalau di toko buku besar harganya sampai Rp300.000, sedangkan di sini cuma Rp220.000,” ujarnya.
Lain lagi alasan Adani Mulyawati. Mahasiswi program ekstensi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ini mengungkapkan bahwa dirinya membeli buku bajakan untuk kasus tertentu yakni buku pendidikan yang sifatnya temporer. “Tapi kalau buat yang dipakai terus-terusan mending beli yang asli. Novel juga gitu, walaupun mahal tapi kualitasnya lebih bagus,” tuturnya.
Dia setuju jika buku bajakan menguntungkan dirinya sebagai mahasiswa. Sebagai contoh, bila berkeinginan membeli buku akuntasi, dia akan membandingkan harga buku versi asli dan bajakan. Jika membeli buku asli, dia harus mengeluarkan dana Rp250.000. Sementara itu, versi bajakan dari buku itu dapat diperolehnya dengan harga hanya Rp50.000.
Dia mengakui berdasarkan pengalamannya, kualitas buku bajakan memang jauh dari harapan. Selain rentan rusak, halamannya juga kerap terbalik, bahkan kosong. Di sisi lain dia juga berpendapat bahwa membeli buku asli bukan sekedar mencari kualitas, tetapi juga menghargai kerja keras sang penulis buku.
"Beli novel yang asli sifatnya lebih menghargai penulisnya. Mereka sudah capai-capai menulis masa kita beli bajakan?" Tukasnya. (Abdul Rahman/Marsya Nabila/Nindya Aldila)