Bisnis.com, JAKARTA- Ketua Departemen IKK FK UI DR. Dr. Herqutanto, MPH, MARS mengatakan masih banyak masyarakat yang belum memahami cara mengenali gejala alergi atau sudah tahu mengenai alergi tapi mencoba mengira-ngira atau mengambil solusi sendiri.
Karena itu pelru upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang alergi dan risikonya, membekali masyarakat dengan informasi yang tepat, dan berupaya mengubah perilaku agar masyarakat dapat lebih tepat menanganinya.
Data World Allergy Organization (WAO) 2011 menunjukkan bahwa angka prevalensi alergi mencapai 30-40 persen dari total populasi dunia. Selain disebabkan oleh pola hidup masyarakat yang berubah yang menghasilkan lingkungan yang rentan menimbulkan penyakit alergi, hal ini juga disebabkan oleh masih rendahnya pemahaman masyarakat mengenai alergi, seperti mengenali faktor risiko maupun kesalahan dalam menangani alergi anak.
“Alergi memiliki dampak lebih dari sekedar gangguan atau gejala pada pernafasan, kulit, atau pencernaan. Alergi memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan di kemudian hari, seperti timbulnya asma dan rhinitis serta meningkatnya risiko penyakit degeneratif, dan juga dampak sosial seperti harus sering ke dokter, meningkatnya pengeluaran untuk kesehatan, berkurangnya produktivitas orang tua, prestasi belajar anak yang menurun karena sering sakit, dan dampak sosial lainnya. Karena dampak yang besar dan berkelanjutan itu, sangatlah penting untuk melakukan pengamatan terhadap alergi sedini mungkin, yaitu kepada anak-anak sejak usia dini,” ujar Dr. Herqutanto dalam siaran pers yang diterima Bisnis.com, Minggu (17/04)
Dia mengatakan alergi makanan merupakan salah satu masalah alergi yang paling sering dialami oleh anak. Sekitar 20% anak pada satu tahun pertama mengalami reaksi terhadap makanan yang diberikan. Allergy & Asthma Foundation of America menyatakan bahwa alergi susu merupakan salah satu alergi makanan yang paling banyak terjadi pada anak-anak. Di Indonesia satu dari 25 anak menderita alergi protein susu sapi.