Bisnis.com, JAKARTA- "Panjang umurnya, serta mulia.” Penggalan bait dalam lagu Selamat Ulang Tahun itu sejatinya merefleksikan harapan banyak insan untuk bisa berumur panjang dan selalu hidup dalam kondisi sehat.
Di Asia Tenggara, tingkat harapan hidup seseorang lebih dipengaruhi oleh faktor pendapatan, pendidikan, serta angka kelahiran. Beruntung, dalam kurun waktu seperempat abad terakhir, regional ini mencatatkan perbaikan dalam angka harapan hidup warganya.
Studi dari Global Burden Disease (GBD) mencatat selama 25 tahun terakhir, harapan hidup di Asia Tenggara terbilang cukup baik. Pada 2015, harapan hidup di Vietnam adalah 75 tahun, di Indonesia dan Filipina 71 tahun, serta di Laos 67 tahun.
Kasus-kasus seperti angka kematian ibu yang mengandung atau baru melahirkan juga berkurang cukup signifikasn. Di Indonesia, misalnya, kasus tersebut turun menjadi 8.937 kematian pada tahun lalu dari 18.715 kematian pada 1990.
Kolaborator GBD dari Afrika Selatan, Charles Shey Wiysonge, menambahkan rasio kematian saat melahirkan di Vietnam turun dari 47 kematian menjadi 16 kematian selama kurun waktu yang sama.
“Sayangnya, meskipun ada kemajuan luar biasa dalam hal pengurangan kematian ibu dan anak di Asia Tenggara, secara global masih tercatat 5,8 juta anak-anak berusia di bawah 5 tahun meninggal pada 2015,” ujarnya saat meluncurkan laporan tersebut awal pekan ini.
Dari angka global tersebut, 11.603 kasus kematian anak terjadi di Kamboja, 3.274 di Malaysia, dan 2.642 di Sri Lanka. “Meskipun jumlah kematian anak tertinggi terjadi di Kamboja, negara tersebut mencatatkan penurunan kematian luar biasa antara 1990—2015.”
Lebih lanjut, dia menerangkan dulunya harapan hidup warga Asean dibayang-bayangi oleh momok penyakit mematikan terkait paru-paru. Infeksi paru-paru dan tuberkulosis menjadi dua ancaman paling membahayakan terhadap kesehatan warga Asia Tenggara.
Namun, studi GBD yang dipublikasikan ke dalam jurnalThe Lancet itu mencatat bahwa jumlah warga Asia Tenggara yang meninggal akibat penyakit-penyakit paru-paru tersebut semakin menurun selama kurun waktu 1990-2015.
TANTANGAN BARU
Sayangnya, studi yang sama juga mengungkapkan fakta bahwa Asia Tenggara menghadapi tantangan baru dalam perang melawan penyakit serius. Tantangan itu adalah memburuknya kebiasaan merokok dan pola makan tidak sehat di kawasan ini.
Charles mengungkapkan saat ini banyak negara berkembang di Asean yang justru menghadapi tantangan kesehatan serius. Sebaliknya, tidak sedikit negara-negara tertinggal di Afrika yang membukukan kemajuan kesehatan yang pesat.
“Para pembuat kebijakan di semua negara, mulai dari Thailand hingga Zimbabwe, dapat menggunakan studi ini untuk menyejajarkan pengeluaran guna menargetkan hal-hal yang akan membuat kesehatan masyarakat menjadi lbeih baik dan cepat,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Charles menyampaikan saat ini sebagian besar negara Asean tengah memerangi penyakit jantung iskemik sebagai penyebab utama kematian. Di Indonesia, penyakit itu mengakibatkan 225.426 kematian dan di Kamboja 13.573 kematian pada 2015.
Pada saat bersamaan, beberapa negara di Asia Tenggara tengah dihantui penyakit stroke hemoragik sebagai penyebab utama kematian. Di Myanmar, misalnya, penyakit tersebut membunuh 35.034 jiwa pada tahun lalu.
Bagaimanapun, penyakit mematikan bukanlah satu-satunya momok kesehatan di Asean. “Ada tiga gangguan kesehatan yang sifatnya tidak fatal di Asia Tenggara, tapi menghantui banyak orang. Mereka a.l. diabetes, sakit punggung bawah, dan kehilangan pendengaran.”
Laporan GBD itu diluncurkan di Indonesia pada Senin (10/10). Studi mereka didasari oleh penelitian ilmiah terhadap lebih dari 300 jenis penyakit dan kecelakaan di total 195 negara, termasuk Indonesia.
Studi itu dilakukan dengan dukungan Bank Dunia, IHME, dan The Lancet menggunakan indeks sosiodemografik, tingkat pendidikan, kesuburan, dan pendapatan masyarakat di masing-masing negara
Hasil risetnya mencakup analisis mendalam tentang berbagai penyebab kematian, angka hidup setelah melahirkan, angka kematian balita, beban penyakit dan harapan hidup keseluruhan, tahun hidup yang dijalani dalam keadaan cacat, serta faktor-faktor risiko lain.
Secara global, di sebagian besar negara dunia, saat ini jumlah kematian saat melahirkan menurun sekitar 29% selama 1990—2015, dan rasio kematian saat melahirkan turun 30% dari 282/100.000 kelahiran hidup pada 1990 menjadi 196/100.000 kelahiran hidup pada 2015.
Berdasarkan laporan itu, Direktur Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) Christopher Murray menyimpulkan bahwa pembangunan negara akan mendorong taraf kesehatan, tetapi bukan menjadi faktor penentu harapan hidup masyarakat.
“Kami melihat negara-negara yang mengalami kemajuan jauh lebih cepat di bidang pendapatan, pendidikan, dan kesuburan. Dan, kami juga terus melihat negara-negara termasuk AS yang jauh kurang sehat daripada seharusnya, meskipun sumber daya mereka sangat memadai.”