Bisnis.com, JAKARTA - Hampir semua orang di berbagai belahan bumi senang membaca meme. Celoteh humor yang dipadankan dengan gambar sosok atau kejadian yang menarik banyak dijadikan hiburan viral yang menjalar di dunia maya.
Namun, meme yang sejatinya ditujukan untuk menghibur masyarakat bisa berubah menjadi petaka manakala dibumbui oleh konten-konten ‘menyesatkan’ oleh segelintir oknum. Apalagi, jika konten fiktif tersebut lantas dipercayai publik sebagai sebuah kebenaran.
Penyebaran konten bohong alias hoax memang lazim terjadi di negara manapun. Akan tetapi, di Indonesia—setidaknya dalam beberapa bulan terakhir—penyebaran hoax sudah melampaui batas yang bisa ditoleransi nalar dan bertransformasi menjadi masalah akut.
Jika ditelusuri, fenomena hoaxmencuat di Indonesia sejak 2014 saat pemilihan presiden yang mempertarungkan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hoax dijadikan senjata ‘bayangan’ untuk membunuh citra lawan politik di mata publik.
Masih teringat dengan jelas bagaimana saat itu Jokowi terpaksa membeberkan akta pernikahannya sebagai aksi defensif; setelah diberondong hoaxyang menyatakan dia adalah antek komunis, nonmuslim, pro-Yahudi, hingga keturunan Tionghoa.
Beberapa bulan terakhir, virus hoax kembali membuncah bersamaan dengan periode kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta. Isu seksi seputar kontroversi petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) vs Front Pembela Islam (FPI) ditunggangi oknum hoaxer.
Penyebaran hoax yang semakin membabi buta di dunia maya turut meresahkan kepala negara. Tidak hanya terkait berita abal-abal yang menyangkut sentimen politik dan SARA, tetapi segala macam informasi palsu yang menyesatkan dan memecah belah opini publik.
Menanggapi masalah hoax yang kian akut di Tanah Air, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai menulis peringatan keras melalui akun Twitter resminya pada penghujung tahun lalu. Dia berjanji akan menindak tegas para hoaxer yang menyebarkan kebohongan.
“Fitnah, ujaran kebencian dan kata2 [red] kasar di media sosial semakin meresahkan masyarakat. Perlu penegakan hukum yg [red] tegas dan keras,” tulis Jokowi di akunnya pada Kamis (29/12/2016).
Hoax rupanya tidak hanya menjadi momok di dunia politik. Di jagat hiburan pun, berita atau konten bohong menjadi makanan sehari-hari yang harus dihadapi oleh para selebritas. Tidak jarang mereka harus membuat klarifikasi untuk meluruskan opini publik.
Lantas, bagaimana para selebritas Tanah Air menghadapi fenomena hoax yang kian akut?
Giring Ganesha Djumaryo alias Giring ‘Nidji’ adalah salah satu selebritas yang paling getol memerangi virus hoax seputar isu yang sedang memanas di Tanah Air. Dia juga terlibat dalam Deklarasi Masyarakat Indoensia Anti-Hoax.
Musisi 33 tahun itu bahkan menggandeng Opini.id untuk melansir serial video bertajuk Nge-Giring Nalarguna meluruskan berbagai isu hoax. Beberapa di antara tema yang diangkat antara lain Demo FPI, 10 Juta Pekerja Tiongkok, Indonesia Itu Toleran, dan Polisi Sekarang Kece.
"Kalau ada yang mem-posting berita-berita hoax, saya tidak ikut berkomentar karena nanti malah menjadi ramai dan semakin tersebar. Belakangan ini, saya justru rajin melaporkan status-status bernada hasutan, permusuhan, atau hoax di Facebook," ujarnya.
Menurutnya, berita hoax tidak boleh dibiarkan, karena kalau dibiarkan informasi bohong bisa semakin menyebar ke lebih banyak pengguna media sosial dan bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran.
"Salah satu upaya saya adalah bekerjasama dengan Opini.id untuk membuat video-video berdasarkan fakta guna menanggapi isu yang sedang memanas. Salah satu isu [yang dibahas dalam video] adalah 10 Juta Pekerja Tiongkok."
Dia berpendapat, banyak masyarakat yang sudah termakan berita hoax. Terbukti, respons negatif untuk video yang dibuatnya sangat luar biasa. Bahkan, sampai ada yang mengancam segala.
"Padahal, saya berusaha meluruskan informasi yang tidak benar dan bisa merusak persatuan bangsa."
"Jadi, saya ikut menyosialisasikan kepada masyarakat agar tidak mudah percaya dengan berita-berita yang beredar di media sosial. Setiap kabar harus dikroscek terlebih dahulu sumber beritanya."
Untuk melawan penyebaran hoax, lanjutnya, hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah tidak mudah menekan tombol ‘share’. Apapun yang dibaca di medsos, itu harus ditelah dan dicerna masak-masak.
Selebritas lain yang aktif terlibat upaya perang terhadap hoax adalah Olga Lydia. Model dan aktris berusia 40 tahun itu mengajak masyarakat untuk lebih bijaksana dalam menyebarkan konten di media sosial.
"Kita sudah enek, bosan, dan jenuh membaca berita hoax. Sebab, berita bohong sudah menyebar kemana-mana. Hoax itu banyak yang tidak masuk akal dan disebarkan oleh begitu banyak oknum," ungkapnya.
Olga menambahkan fenomena hoax belakangan ini mirip seperti propaganda Jerman pada era Nazi. Jika kebohongan terus-terusan disebarkan, orang yang awalnya tidak percaya lama-lama bisa percaya sekonyol apapun konten bohong yang disebarkan itu.
"Oleh sebab itu, saya turut menyatakan perang terhadap hoax. Saya enggak mau lagi dibohongi, karena sudah banyak orang yang tertipu karenahoax."
Dia berharap masyarakat lebih bisa menahan diri. Jangan langsung membagikan berita yang diterima di media sosial, tetapi harus menelaahnya terlebih dahulu. Cermati apakah gambar atau kabar yang tersebar di Internet itu sesuai dengan kenyataannya atau tidak.
Saat ini kan sudah banyak aplikasi di ponsel pintar. Diharapkan para penggunanya sepintar ponselnya. Jadi, kalau ada gambar yang bombastis, bisa dicek dulu di Google untuk ditelusuri situs mana saja yang sudah melansir gambar itu."
Lain halnya dengan anggota Komisi X DPR Anang Hermansyah. Secara terpisah, musisi dan suami penyanyi Ashanty itu memiliki pandangan berbeda tentang perang terhadap hoax yang sedang digencarkan pemerintah saat ini.
Dia mengaku mendukung saja upaya pemerintah untuk memerangi fenomena penyebaran berita bohong melalui wacana pembentukan Badan Siber Nasional (Basirnas). Syaratnya, lanjut Anang, wacana itu jangan sampai justru membebani keuangan negara.
"Kalau pemerintah memang memiliki tekad untuk membentuk Basirnas, silakan saja. Namun, saya ingatkan agar jangan sampai upaya itu membebani keuangan negara, apalagi sampai menambah utang baru," tegasnya.
Menurut Anang, lebih baik pemerintah menggunakan sarana dan infrastruktur yang sudah ada. Misalnya, melalui program Internet sehat yang sudah pernah dilakukan pemerintah. Apalagi, negara sudah punya Lembaga Sandi Negara dan Kemenkominfo.
"Maksud saya, semangatnya [untuk memerangi hoax] harus benar-benar efisien. Apalagi, kan Pak Presiden sejak awal memiliki komitmen untuk menghapuskan lembaga nonstruktural."