Kopi/Istimewa
Fashion

Menyeruput Seduhan Kopi dari Filter Tenun Gedog

Wike Dita Herlinda
Rabu, 6 September 2017 - 18:09
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Ada begitu banyak ragam wastra Nusantara, tetapi tidak semuanya terekspos dengan baik. Salah satu yang terdengar sedikit asing di telinga kebanyakan masyarakat mungkin adalah tenun gedog.

Tenun yang berasal dari Tuban ini memang unik. Sempat dianggap punah pada akhir dekade 1980-an, kain ini tiba-tiba ‘muncul’ kembali pada awal 2000-an. Kain gedog memiliki corak batik, bahan, dan teknik pewarnaan yang sedikit berbeda dengan batik Jawa pada umumnya.

Pewarnaan gedog menggunakan bahan-bahan alami seperti nila untuk menghasillkan warna indigo. Material utama untuk tenunnya terbuat dari kapas yang banyak ditanam di wilayah Tuban, Jawa Timur.

Selanjutnya, kapas-kapas yang sudah dipintal kemudian ditenun menjadi kain menggunakan instrumen tradisional yang mengeluarkan bunyi ‘dog... dog...’. Bunyi itulah yang menjadi penyebab mengapa tenun dari Tuban itu disebut batik gedog.

Keunikan gedog itu dilirik oleh sekelompok anak muda di Surabaya yang tergabung dalam komunitas Mustika Rasa. Mereka tertarik memperkenalkan kembali tenun gedog, sebagai sebuah produk kerajinan tangan premium.

Uniknya, mereka juga berniat memperkenalkan tenun gedog sebagai salah satu medium yang berguna untuk pembuatan kopi dengan metode seduh manual serta pembuatan makanan. Ini adalah upaya unik yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia.

Salah satu programer Mustika Rasa, Aditya ‘Fu’ Fernando mejelaskan jenis filter sangat mempengaruhi rasa dan aroma kopi. Alat yang sama, misalnya V60, dengan filtrasi yang berbeda akan menunjukkan hasil yang berbeda.

“Filtrasi kertas menghasilkan kopi dengan karakter kerjenihan rasa atau clarity yang tegas, filtrasi dengan bahan logam akan memunculkan tekstur tebal, dan filtrasi yang konon bisa menguatkan sisi aromatik dari seduhan kopi adalah kain,” jelasnya.

Dari tangan-tangan kreatif, jenis filtrasi kain dapat dikembangkan secara lebih inovatif. Apalagi, menurutnya, filtrasi kain sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. “Kopitiam-kopitiam di Sumatra hingga Kalimantan Barat menggunakan teknologi seduh tersebut.”

Itulah mengapa dia ingin menjajal metode penyeduhan kopi manual dengan tenun gedog. Adapun, tenun gedog yang dipilihnya untuk menyeduh kopi juga tidak sembarangan. Dia mencucinya secara khusus agar kotoran dan lilin pada kain luruh.

Menurut Fu, kain gedog menghasilkan aroma seduhan kopi yang lebih kuat. Apalagi, jika digunakan untuk menyeduh kopi single origin yang berbau khas seperti kopi Argopuro yang memiliki sentuhan wangi herbal dan aroma rempah.

“Kain gedog bisa menghasilkan aroma seduhan yang khas, karena dipintal dengan tangan. Itulah mengapa ada komponen organik di dalamnya, seperti aroma kayu. Berbeda dengan filter kopi dari kain lainnya yang buatan pabrik.

Tidak hanya Fu yang mencoba memperkenalkan tenun gedog sebagai alternatif filter kopi premium. Pakar kuliner Michael Fitzgerald Halim turut menawarkan opsi menggunakan tenun gedog sebagai medium pengayak tepung untuk membuat kue.

“Kain, kopi, dan kudapan adalah serangkaian kebudayaan yang saling bertautan satu sama lain. Kain banyak digunakan dalam kehidupan manusia, bahkan sebagai alat bantu dalam pengolahan makanan. Misalnya saja sebagai medium pengayak tepung,” jelasnya.

Menurutnya, penggunaan tenun gedog tradisional dapat diteruskan dalam kehidupan modern dengan mengaplikasikannya pada kegiatan sehari-hari melalui rasa. “Baik rasa yang dikecap di lidah, rasa yang dihirup penciuman, maupun rasa yang dapat dilihat dan dinikmati mata.”

Sementara itu, penggagas kopi filtrasi tenun gedog Yogi Ishabib berpendapat tenun gedog saat ini memiliki nasib yang hampir sama dengan produk budaya lampau, yaitu nyaris terlupakan atau dilupakan.

“Baru sekarang-sekarang ini [tenun gedog] muncul lagi dan mendapatkan tempat terhormat di pasar kain elite nasional, meski belum seternama dan mengudara hingga ke dunia fesyen internasional seperti saudara-saudaranya macam ulos, pegringsingan, lurik, songket, sabu raijua, dan ikat-buna-lotis.”

Itulah sebabnya, Yogi menggagas promosi tenun gedog agar tidak hanya sekadar dikenal sebagai wastra Nusantara yang berkelas dan hanya bisa dijangkau beberapa kalangan, tetapi juga memungkinkan untuk bida digunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.

“Mengenalkan kembali tenun gedog adalah upaya merasakan dan menikmati hidup seperti layaknya filosofi kain tenun itu sendiri; perlahan, hati-hati, kuat karena terbentur, terbentur, hingga terbentuk,” tegasnya.

Editor : Fajar Sidik
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro