Bisnis.com, JAKARTA - Jika bicara tentang seni rupa, rerata orang awam langsung mengasosiasikannya dengan patung atau lukisan. Memang, cabang seni rupa murni seperti lukis, grafis, dan patung, serta seni rupa terapan seperti arsitektur dan desain lebih populer di kalangan masyarakat.
Namun, seni rupa memiliki satu cabang lagi yang kerap kali luput dari perhatian. Cabang itu adalah kriya. Meskipun sering didengar, tidak banyak orang yang memahami apa itu kriya, bagaimana membuatnya, serta apa fungsinya.
Dosen Kriya Logam Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Indah Chrysanti Angge, mengatakan kriya adalah sebutan untuk karya yang penggarapannya sarat dengan keterampilan tangan, mempunyai nilai estetika tinggi, tetapi tetap fungsional.
“Salah satu hal yang membedakan kriya dengan cabang seni rupa lain adalah pada seni kriya, para pande atau kriyawan berkreasi dengan menggunakan teknik warisan para leluhur,” ujarnya belum lama ini.
Misalnya saja, karya kriya logam dengan teknik ukir menggunakan alat pahat ukir logam dan landasan jabung; kriya keramik dengan teknik tekan, palin, dan bidang; kriya batik dengan menggunakan canting dan malam sebagai perintang warna; dan kriya kayu dengan teknik ukir menggunakan pahat ukir kayu.
Berangkat dari kesepahama tentang pentingnya menjaga keaslian warisan budaya (memetri) sebagai identitas bangsa, Jurusan Seni Rupa Unesa menggelar pameran bertajuk Memetri Kriya di House of Sampoerna sepanjang 24 November 2017—6 Januari 2018.
Indah mengatakan seiring dengan kemajuan teknologi, berbagai bahan maupun peralatan kriya sudah sangat sulit atau bahkan tidak bisa lagi ditemukan dan harus digantikan dengan peralatan yang lebih modern.
Padahal, menurutnya, untuk menciptakan karya kriya yang beridentitas Indonesia, peralatan modern ini hanya boleh digunakan sebagai alat penunjang. Keterampilan tangan para pande-lah yang tetap harus menjadi modal utama proses penciptaan sebuah kriya.
Untuk itu, dia menggandeng 16 peserta dari FBS Unesa yang menghadirkan sekitar 30 karya kriya untuk pameran tersebut. Mereka a.l. Achmad Nuries, Achmad Hozairi, Chrysanti Angge, Cokro Retantoko, Faisall Wilma, Fera Ningrum, Huda Cahyanto, Muchlis Arif, Muhamad Taufik, Nurul Dwi Injaya, Okiek Febrianto, Prastyawan, Singgih Prio, Sofia, Marwati, Sulbi Prabowo, dan Wahyu Ferdiyan.
Salah satu karya kriya yang cukup memetik perhatian di pameran tersebut adalah Maha Atma oleh Jafar Huda Cahyanto. Karya tersebut menggunakan logam wudulan dan endak-endakan yang diukir indah pada tembaga, beton eser, dan kayu mahoni.
Meskipun berkonsep kekinian, karya tersebut tetap menjaga proses pembuatannya sesuai dengan warisan pande leluhur. Karya lain yang tak kalah unik adalah Konsumsikillme oleh Singgih Prio Wicaksono.
Karya pahatan yang menggunakan kayu mahoni, sampah kemasan, dan resin itu dimaksudkan untuk mengkritisi budaya konsumerisme yang tumbuh pesat di masyarakat saat ini, yang tanpa disadari akan menimbulkan dampak kerusakan pada ekosistem.
“Memetri Kriya diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi para penikmat seni pada umumnya untuk bisa terus menjaga, mempertahankan, serta melestarikan warisan budaya leluhur melalui sebuah karya seni,” ujar Indah.
Sementara itu, General Manager House of Sampoerna Ina Silas berpendapat arus kemajuan teknologi pada era milenial yang begitu pesat tidak seharusnya menjadi pembenaran untuk ikut terseret dan menjauh dari identitas bangsa.
“Teknologi justru adalah sebuah peluang dalam proses berkreasi, yang bukan untuk mendominasi dan menenggelamkan nilai-nilai tradisi yang telah tumbuh turun temurun di tengah masyarakat tradisional,” ujarnya.