Bisnis.com, JAKARTA – Budaya selfie telah mendarah daging di tengah masyarakat dunia. Tempat-tempat unik dan menarik yang instagramable biasanya menjadi incaran, termasuk di museum, tempat yang sebenarnya dikenal memiliki peraturan ketat seperti dilarang memotret.
Museum selalu identik dengan batasan-batasan tertentu, seperti tidak diperbolehkan meninggikan suara, membawa ransel, atau menyentuh karya seni.
Sementara itu aturan lainnya –tidak diperbolehkan mengambil foto– oleh beberapa museum telah sepenuhnya disingkirkan, namun sebagian yang lain masih mempertimbangkan.
Tidak sedikit, di beberapa museum seni yang dulunya “garis keras” menentang fotografi, kini menjadi ramah terhadap ponsel cerdas (smartphone).
Alasannya, lantaran ada manfaat yang didapat dari fotografi non-komersial di mana akun-akun media sosial mempublikasikan museum sehingga dikenal lebih luas dan disambangi oleh lebih banyak pengunjung.
Namun, masih ada pendapat yang meyakini bahwa efek samping dari kegiatan fotografi tersebut tidak ramah terhadap konservasi karya seni.
Sejumlah komentator telah mencatatkan bahwa seni telah menjadi produk sampingan dari budaya selfie dan telah menjadi samar esensinya.
“Museum bukan lagi ruang untuk menikmati seni, melainkan ruang untuk memiliki pengalaman seni,” ujar kritikus Rob Horning di Majalah Even, dilansir dari Bloomberg baru-baru ini.
Rob menjelaskan, siapapun yang memiliki akun media sosial mengakui bahwa hal tersebut memang benar. Bahkan, di Rusia sempat ada kampanye #MuseumSelfieDay yang diadakan oleh Kementerian Kebudayaan Rusia di twitter.
Dia menuturkan, siapapun yang benar-benar berkunjung ke museum dalam beberapa tahun terakhir pun tahu bahwa banyak pengunjung dari segala umur dan kebangsaan tampak “terpaksa” berinteraksi dengan karya seni dengan menggunakan layar mereka sebagai perantara. Datang ke museum, melirik karya seni, lalu berfoto suka ria, dan pergi.