Bisnis.com, JAKARTA – Kurator Jim Supangkat memberikan apresiasi bagi para pengunjung yang berfoto atau selfie dengan karya-karya seni.
Menurutnya, orang yang mengambil foto diri bersama dengan karya seni tentunya memperhatikan terlebih dahulu karya seni yang akan difoto, setelah itu memotretnya.
“Selfie itu saya senang melihatnya karena menambah perhatian publik terhadap seni rupa. Itu saya kira merupakan kemajuan ataupun motivasi. Orang yang mau selfie melihat objeknya bagus atau enggak, kan menilai dulu, baru tertarik selfie. Teorinya gitu,” ujarnya kepada Bisnis.
Menurutnya, fenomena selfie secara umum memberikan nilai positif lantaran mampu menarik lebih banyak pengunjung, menjadi semacam apresiasi terhadap karya. Bahkan ketika di-share lewat media, karya seni tersebut bisa menjadi bahan diskusi.
Jim mengakui bahwa urusan selfie juga tidak mengganggu pengunjung lainnya karena hal tersebut bersifat relatif.
Dia menceritakan bahwa sebenarnya larangan memotret di museum berasal dari dunia Barat. Di negara-negara barat terdapat banyak karya lama sekitar abad ke-16 sampai abad ke-19 yang berkaitan dengan agama. Misalnya, Leonardo Da Vinci dan Donatello. Itulah yang menyebabkan museum dianggap tempat yang sakral.
Menurutnya, bagi masyarakat barat, ungkapan dalam bentuk visual adalah hal yang utama dalam budaya mereka. Sementara dibandingkan dengan negara non-barat, ungkapan seni lebih diterapkan melalui seni pertunjukan, bukan seni rupa.
“Ketika dikembangkan ke luar dunia barat, kita nyakral juga. Dalam perkembangan seni rupa kontemporer, mitos-mitos itu banyak dibongkar. Karya seni rupa kontemporer lebih bicara tentang keseharian, jadi tidak sakral lagi. Itu juga karena perkembangan,” jelasnya.
Dia menceritakan bahwa selalu ada dua hal yang dikontraskan antara pengunjung yang serius mengamati karya seni dengan orang yang suka selfie. Satu sisi selalu disakralkan sementara yang satunya direndahkan. Padahal keduanya bisa bersamaan.
“Hal yang tidak bisa ditawar adalah mengganggu karyanya,” tegasnya.