Pagi yang tenang dan dingin. Salju menumpuk di tepi kanan dan kiri jalan raya menuju Gunung Haguro, Kota Tsuruoka, Prefektur Yamagata, Jepang pada awal Maret 2019.
Ya, Jepang bukan hanya Gunung Fuji. Jepang memiliki banyak gunung, termasuk Haguro yang merupakan bagian dari Dewa Sanzan, trio gunung selain Gunung Gassan dan Yudono. Haguro adalah gunung yang mencerminkan masa kini, sedangkan Gassan (masa lalu) dan Yudono (masa depan).
Haguro bukan gunung yang tinggi. Tingginya hanya sekitar 414 meter. Gunung ini menarik karena sejarah, pemandangan dan suasananya: tiga hal yang dipahami dengan baik oleh dua pegawai Pemerintah Kota Tsuruoka yaitu Kenichi Ito dan Zsanett Laszlo yang menemani kami pagi itu.
Kami, empat wartawan Asia termasuk dari Bisnis Indonesia yang datang ke Haguro berdasarkan undangan Pemerintah Jepang, tiba di tempat persinggahan sebelum masuk ke Haguro pukul 07.45 pagi. Tumpukan salju tampak di mana-mana.
Di tempat itu, kami mengganti sepatu dengan sepatu boots yang disediakan oleh pengelola wisata. Sepatu boots harus dipakai karena jalur berjalan kaki di Haguro diselimuti oleh salju. Di sejumlah wilayah Jepang, termasuk Tsuruoka, musim dingin mendatangkan salju.
Salju ini menutupi sebagian tanah Haguro. Tentu saja, Haguro hanya diselimuti salju ketika musim dingin. Pada musim yang lain, musim panas misalnya, suasana dan pemandangan Haguro menjadi berbeda karena tanpa salju.
Dengan sepatu boots, jaket tebal dan tongkat kayu, kami melangkah menuju Gunung Haguro dan disambut oleh torii, sebuah gerbang tradisional khas Jepang. Tak jauh, sebuah gerbang besar bernama Zuishin Mon menyambut kami. Inilah langkah awal menjelajahi Haguro.
Setelah masuk ke gerbang, kami melewati jalan menurun yang terbuat dari batu. Jalan yang diberi nama Ishi-Dan ini dibangun oleh Ten’yu Betto, seorang pemuka agama Dewa Sanzan pada 1648 atau lebih dari 400 tahun yang lalu.
Jalur itu memiliki 2.446 pijakan dan konon dibangun dalam 13 tahun. Di antara pijakan itu terdapat 33 pahatan yang apabila ditemukan semuanya oleh pengunjung maka keinginan penemu itu dapat terkabul.
Jalur itu melintasi jembatan merah bernama Shinkyo Bridge yang terletak di atas Sungai Harai. Setelah berjalan kaki secara pelan selama 15 menit, kami menemui Pagoda 5 Tingkat, sebuah pagoda berusia lebih dari 1.000 tahun dihitung sejak dibangun oleh seorang samurai pada 931-937.
Pagoda yang memiliki pendulum penahan gempa di dalamnya itu disebut merupakan inspirasi bagi arsitektur gedung pencakar langit modern di seluruh dunia, salah satunya Skytree di Tokyo, Jepang. Pagoda itu tampak kokoh di antara pohon-pohon cedar di hutan yang bersih itu.
Dekat dengan pagoda terdapat pohon cedar bernama Jijisugi yang berusia lebih dari 1.000 tahun. Pohon itu menjadi pengingat atas keagungan dan umur yang panjang alam Gunung Haguro yang asri itu.
Melihat pagoda di tengah hutan gunung yang diselimuti salju merupakan pengalaman yang menakjubkan. Suasana yang hening dan tanpa polusi udara serta suara membuat batin menjadi tenang. Menghirup udara Haguro seperti menyegarkan paru-paru…
Selain pagoda, Gunung Haguro juga memiliki kuil utama bernama Sanjin Gosaiden. Di tempat yang dianggap suci ini, pengunjung dapat memanjatkan doa di sebuah tempat khusus. Pengunjung tidak boleh mengambil foto atau menggunakan sepatu di dalam kuil itu.
Di samping itu, pengunjung dapat menikmati makanan vegetarian di tempat yang tidak jauh dari Sanjin Gosaiden. Makanan itu dikenal sebagai Shojin-Ryori yang bahan-bahannya diperoleh dari sekitar Gunung Haguro.
Zsanett Laszlo, perempuan manis asal Hungaria yang fasih berbahasa Inggris dan Jepang itu, menjelaskan Gunung Haguro juga menjadi tempat menjalani pelatihan asketis bagi peminat tradisi spiritual Jepang.
Tradisi itu bernama Shugendo dimana pengikutnya bernama Yamabushi atau biksu gunung. Yamabushi menjalani serangkaian pelatihan, termasuk menjelajahi jalur Gunung Haguro dan makan makanan yang khas.
Pelatihan asketis itu, menurut Zsanett, adalah untuk mendapatkan pengalaman di alam. “Orang-orang dulu tinggal di alam, tapi sekarang mereka pindah ke kota, jadi kita lupa bagaimana bekerjasama dengan alam dalam cara-cara yang berkelanjutan,” kata Zsanett yang mengaku pernah mengikuti pelatihan itu.
Setelah mengikuti pelatihan, sambung Zsanett, pertapa dianggap terlahir kembali sebagai diri yang baru. Dengan diri yang baru, orang itu dapat membawa pengalamannya menjalani pelatihan di Gunung Haguro ke tengah masyarakat.
Pelatihan itu sendiri dapat diikuti oleh laki-laki dan perempuan dari semua agama dan bahkan yang tidak memiliki agama. Peminat perlu membayar sejumlah yen untuk dapat mengikuti pelatihan asketis di Gunung Haguro ini.
Tertarik mengunjunginya? Gunung Haguro adalah tempat wisata yang ditawarkan oleh Kota Tsuruoka yang berjarak 1 jam penerbangan dari Bandara Haneda di Tokyo atau 4 jam menggunakan kereta api dari Tokyo yang melewati Niigata.
Sebagai gambaran, Tsuruoka merupakan kota kreatif gastronomi di Jepang. Label itu diberikan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization pada 2014. Di seluruh dunia hanya terdapat 26 kota sejenis.
Tsuruoka dan juga Gunung Haguro meninggalkan kesan yang manis di benak. Namun, muncul satu pertanyaan setelah berkunjung ke tempat itu. Bagaimana Jepang merawat cerita bersejarah dari suatu tempat dan menjadikan tempat itu sebagai tujuan wisata yang cantik?
Barangkali jawaban dari pertanyaan itu dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia yang tengah berjuang membangun pariwisatanya.