Bisnis.com, JAKARTA--Kehadiran musisi atau penyanyi cover dalam industri musik Indonesia sebetulnya dinilai positif oleh pengamat musik Bens Leo, sepanjang musisi tersebut menghargai pencipta lagu atau musisi aslinya.
“Kalau mereka menjual karya-karya yang di-cover itu, maka dia harus meminta izin kepada penciptanya,” katanya.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang ini adalah banyak orang yang menyanyikan atau mengaransemen lagu orang lain tanpa izin. Bahkan banyak orang yang tidak meminta izin kepada pencipta lagu atau penyanyi asli, sehingga pada saat penyanyi atau musisi cover menjadi populer, yang dirugikan adalah pencipta lagu. Seharusnya pencipta lagu memperoleh hak atas royalti atas lagu yang di-cover.
Dia mencontohkan aturan main meng-cover lagu di luar negeri yang mengharuskan penyanyi cover yang populer untuk bernegosiasi dengan pencipta lagu. “Akan tetapi di negara kita sering kali yang terjadi tidak begitu,” ujar Bens.
Sebetulnya karya-karya cipta musik harusnya memperoleh royalti ketika itu tidak dibawakan oleh pencipta lagu atau penyanyi aslinya. Lagu-lagu yang ditampilkan dalam sebuah tempat pertunjukan yang berbayar juga begitu, pencipta lagunya berhak menerima royalti sebanyak 2% dari nilai biaya produksi pertunjukan.
“Kalau lagunya dipanggungkan di mana penonton tidak membayar, maka pencipta lagu dan penyanyi tidak menerima royalti,” kata Bens. Menurutnya sistem aturan main untuk menyanyikan lagu orang lain memang cukup rumit hitung-hitungannya.
Termasuk juga cover lagu yang kini ramai dilakukan melalui YouTube. Bens mengatakan bahwa orang yang meng-cover lagu di YouTube dan kemudian memperoleh popularitas dan nilai komersil dari situ, seharusnya membayar royalti kepada pencipta lagu dan penyanyi aslinya.
Akan tetapi, hitung-hitungan royalti dalam cover lagu di YouTube dinilai masih sulit. Hal ini terjadi karena YouTube merupakan lahan yang sangat luas dan terbuka sehingga terjadi kesulitan untuk mendata pembayaran royalti.
“Tetapi sebetulnya, seperti halnya penyanyi asing yang populer dari YouTube biasanya mereka akan menghubungi pencipta lagunya dan membayarkan hak atas karya itu,” ujar Bens lagi. Sayangnya di Indonesia belum jelas regulasi soal meng-cover lagu di YouTube.
Salah satu musisi yang karya-karyanya paling banyak di-cover oleh orang lain adalah kelompok musik Koes Plus. Menurut Bens lagu-lagu Koes Plus bahkan dinyanyikan pada pertunjukan di stadion. Namun, pernyataan dari anggota grup yakni Yok Koeswoyo cukup mengejutkan. Pada Bens dia mengatakan bahwa mereka tidak perlu meminta royalti dari penampilan tersebut dalam rangka membantu orang lain.
“Kenyataan seperti ini agak tidak pas jika merujuk pada Undang-Undang Hak Cipta tetapi mereka tidak menuntut, justru dianggap kebanggaan untuk menolong orang lain,” katanya. Akan tetapi, Koes Plus tegas akan menuntut apabila lagu-lagu mereka direkam ulang dan diedarkan.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa ketika lagu-lagu yang di-cover masuk dalam ranah komersil seperti rekaman, maka musisi cover harus membayar royalti.
Pada kenyataannya, Bens menilai belum semua musisi memahami regulasi soal hak cipta ini. Akan tetapi musisi yang sudah masuk dalam industri rekaman semestinya sudah memahaminya.
Dia mengkritisi cover lagu Via Vallen berjudul Sayang yang aslinya merupakan lagu Jepang. Lagu Jepang itu kemudian diberikan lirik Bahasa Indonesia dengan campuran bahasa Jawa, dan pada akhirnya lagu itu populer.
“Belum sempat dituntut oleh penciptanya dan produser aslinya dari Jepang, pihak Via Vallen sudah bernegosiasi untuk membayar royalti,” katanya. Dia menyayangkan bahwa sang musisi justru terkenal karena lagu orang lain terlebih dahulu, tetapi baru membayar royalti belakangan. Menurutnya kasus-kasus seperti ini tidak perlu terjadi.
“Akan lebih murah kalau bernegosiasi dari awal ketimbang dia dituntut kemudian hari,” kata Bens.
Bens menyoroti bahwa seharusnya musisi cover baik dari sisi penyanyi atau manajemen yang menaunginya tidak boleh berkutat terus dalam musik cover.
“Jadi tidak sekadar meng-cover lagu orang, tetapi berkarya sendiri demi kebanggaan diri sendiri,” ujarnya.
Penyanyi cover yang tidak membawakan karyanya sendiri dinilai akan terus berada di bawah bayang-bayang penyanyi aslinya dan label “musisi cover”.
Menurutnya merekam sendiri dengan lagu sendiri akan lebih baik karena mengedepankan orisinalitas.
“Jauh lebih bagus musisi independen yang merekam dan mengedarkannya sendiri, dibandingkan dengan mereka yang merekam ulang lagu orang lain,” ujarnya.