Bisnis.com, JAKARTA - Pengendalian kualitas bahan pangan dan penerapan pola hidup sehat dapat menjadi alternatif penyelesaian polemik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang tak kunjung usai.
Defisit dana BPJS Kesehatan seakan tanpa jalan keluar yang tuntas. Kebijakan penaikan iuran serta pengurangan PBI (Penerima Bantuan Iuran) sekadar kebijakan tambal sulam.
Bahkan, hingga akhir tahun ini defisit BPJS Kesehatan diperkirakan terakumulasi mencapai Rp28 triliun. Padahal, pada tahun lalu BPJS Kesehatan telah menggelontorkan Rp94,3 triliun untuk melunasi klaim kepada fasilitas kesehatan.
Di sisi lain, sejauh ini upaya memangkas defisit seakan hanya mengurangi risiko jangka pendek. Sebaliknya, dengan kondisi lingkungan yang kian tercemar, serta tidak adanya perbaikan standar gizi dalam jangka panjang membuat masyarakat yang terkena penyakit kronis semakin bertambah.
Dari 10 jenis penyakit yang paling banyak menyedot klaim, penyakit jantung dan gagal ginjal menyumbang klaim terbesar BPJS Kesehatan.
Pakar Teknologi Pangan Universitas Sahid Prof. Giyatmi Irianto mengatakan langkah strategis yang wajib dilakukan pemerintah dalam menekan defisit BPJS Kesehatan dalam jangka panjang harus komprehensif.
Sosialisasi pola hidup sehat dan pengendalian kualitas bahan pangan menjadi faktor penting dalam upaya membantu BPJS Kesehatan.
“Ini [sosialisasi pola hidup sehat dan pengendalian kualitas bahan pangan] menjadi pekerjaan rumah yang harus digarap pemerintah, terutama kabinet baru nantinya.” Katanya.
Dia menuturkan pola hidup sehat seperti olah raga rutin merupakan program lawas yang mulai ditinggalkan. “Dulu senam pagi, olah raga sehat, hampir semua digerakkan, ini perlu dihidupkan kembali,” ujarnya.
Terkait bahan pangan dan pola konsumsi masyarakat, Giyatmi menilai hal tersebut dapat menjadi awal menjangkitnya penyakit kronis. Penyakit jantung misalnya, lebih banyak dipicu konsumsi berlebih garam dan lemak tak sehat dan gula.
Giyatmi mencontohkan tanaman buah dan sayur selama ini tak terhindar dari kandungan pestisida yang diduga sebagai pemicu kanker. “Harus lebih banyak produksi bahan organik dibandingkan dengan kimia. Kalau terus tercemar zat kimia seperti pestisida, kanker akan jadi momok bagi masyarakat,” katanya.
Persoalannya, kemampuan produksi pangan berkualitas domestik masih terbatas. Produk buah dan sayuran organik saat ini masih lebih mahal dibandingkan dengan produk yang tercemar bahan kimia.
Dia pun mendorong pemerintah memanfaatkan pengembangan serta hasil penelitian dari pusat riset pangan di dalam negeri, untuk mendongkrak produksi tersebut.
Pusat Pengembangan
Menurutnya, saat ini diperlukan pusat pengembangan untuk memasok produk yang berkualitas kepada masyarakat. Sebagai contoh, Pusat Teknologi Pertanian Inagro Parung telah sukses memproduksi bahan pangan sarat gizi.
Produk itu antara lain, pupuk micoriza dan bubuk pelet tinggi protein maggot. “Pupuk micoriza bisa menggemburkan tanah, apalagi ini organik,” kata Giyatmi.
Sementara itu maggot diolah dari tumpukan sampah yang biasanya hanya untuk pupuk kompos dapat diolah untuk dikonsumsi oleh ternak karena mengandung protein. Bahkan, pemberian maggot dapat menggantikan antibiotik untuk hewan ternak.
Pusat penelitian itu juga mengembangkan bibit unggul seperti durian, pepaya, sawo kecik, dan kentang unggul. Selama ini kentang lokal sulit diterima masuk menjadi bahan baku french fries gerai food service semacam KFC, atau Burger King.