Bisnis.com, JAKARTA - Sutradara film Abracadabra, Faozan Rizal, tampak tak terlihat ada di acara press conference film barunya yang berjudul Abracadabra yang resmi akan rilis Kamis (9/1/2020).
Saat ini, dirinya sedang berada di Berlin. Namun ia menitipkan satu jawaban menarik melalui video singkat yang ditayangkan usai pemutaran film tersebut perihal alasan ia mengajukan ide cerita film bergenre fantasi, yang masih jarang dieksekusi pembuat film di Indonesia.
"Kenapa tidak? Dunia magis dan dunia sinema adalah dua dunia yang membuat saya hidup dalam dunia imajinasi saya sendiri. Walaupun penuh kebingungan, tapi intinya bagaimana kita harus percaya. Jadi mari kita rayakan kebingungan ini," ungkap pria yang akrab dipanggil Pak Ao ini.
Abracadabra adalah sebuah film yang berkisah tentang Lukman (Reza Rahadian) adalah seorang pesulap ulung yang bermaksud untuk mengundurkan diri dari dunia yang membesarkannya melalui sebuah pertunjukkan. Namun naas, properti sulap yakni kotak kayunya membawa celaka dengan membuat hilang beberapa orang.
Tema yang baru
Reza Rahadian, pemain utama film Abracadabra pun mengaku ini adalah kali pertamanya bermain dalam film bergenre fantasi setelah 13 tahun maral melintang di industri perfilman Indonesia sebagai aktor.
"Jadi saya cuma berpikir selama ini saya cenderung main film cerita yang sangat naratif atau drama yang ceritanya memang sangat bisa diikuti alur, ya. Jarang sekali terlibat dalam cerita yang out of the box, yang unusual," ungkap Reza.
"Nah, ketika ini datang, karena penggemar saya ingin saya berganti-ganti peran dan mencari sesuatu yang baru, akhirnya punya ruang baru, nih. Look-nya bisa diganti, ada yang berbeda. Jadi akhirnya nggak pakai lama-lama lagi untuk bilang "oke Pak Ao (sutradara) mari kita sikat syuting," ungkap Reza.
Ideosource yakni entitas yang mendukung produksi dan investasi film ini menyebut pihaknya mendukung penuh perilisan film ini di Indonesia karena pengalaman yang ditawarkan cukup berbeda dari kebanyakan film komersial lain.
"Really blow out my mind. This is something different, new. Menu baru untuk perfilman Indonesia. Kita merasa, 'yuk kita coba bareng-bareng' dan definitely kita semua berpartisipasi berkarya dari hati dan mudah mudahan sampai ke hati dan bisa memberikan completely new colour di perfilman Indonesia," ujar Pandu Birantoro.
Satu lagi entitas bantuan investasi berupa pendanaan internasional yang turut mendukung perilisan film ini adalah Aurora Media asal Singapura. Perusahaan ini menyadari belum banyaknya ketersediaan genre film fantasi seperti Abracadabra di Indonesia memberikan peluang berkembangnya industri kreatif di dalamnya.
"2017 saat pengumuman ini dibuat, kami melalui beberapa diskusi dan konsultasi di Singapura. Mengapa kami memilih Abracadabra? Karena tidak banyak proyek yang seperti ini, sangat kreatif dan bisa dikategorikan sebagai film seni dan diperuntukkan bagi pasar Indonesia. Sejujurnya, kami berinvestasi pada orangnya, timnya juga sangat solid dan luar biasa," ujar Terence Kong dari Aurora Media.
Film yang mahal?
Produser film Abracadabra dari rumah produksi Fourcolours Film, Ifa Isfansyah mengaku kalau sejauh ini film Abracadabra adalah film termahal yang pernah diproduksi oleh rumah produksinya.
"Saya nggak bilang mahal, tapi saya bilang ini paling mahal produksinya Fourcolours. Kalau tahu filmnya Fourcolours seperti Siti, Turah, Kucumbu Tubuh Indahku, mahalnya di mana kelihatan. (Mahalnya) di propertinya, production value," ungkap Ifa.
Namun begitu, Ifa menyebutkan nilai yang ditawarkan oleh film ini sangat tinggi sehingga dibandingkan perhitungan kalkulasi dalam hal budget, pihaknya sangat mendukung perkembangan kreatifitas dalam industri perfilman Indonesia.
"Mahal kalau dalam in terms of budget, saya nggak akan bilang film ini paling mahal. Tapi, yang saya support ini memang value-nya harus dari kreatif bukan budget," ungkap Ifa.
Permainan gradasi, warna-warna yang cantik, lokasi syuting yang mayoritas dilakukan dilakukan di Yogyakarta dalam film ini juga disebutkan Ifa melalui proses kreatif dengan pendekatan finansial yang masih bisa dijangkau.
"CGI pun sangat minim, tapi sangat krusial sepetti harimau," ujat Ifa singkat.
Target segmentasi pasar film genre baru
Ifa Isfansyah pun menyadari betul film genre fantasi tidak memiliki basis penonton yang solid seperti halnya film bergenre horor yang memang diperhitungkan di Indonesia. Menurutnya, film seperti Abracadabra memiliki segmentasi pasar yang sangat mengerucut, dan ia pun menyiasatinya dengan pemain yang populer.
"Penontonnya film seperti ini sangat tipis, justru itulah tugas produser agar tetap memproduksi, dan orang yang terlibat tidak kapok. Karena dihitung salah satu hal yang terberat mencari orang sevisi dengan film ini dengan visual tidak kelihatan di awal," ujar Ifa.
“Harapannya dengan dimainkan oleh pemain-pemain yang populer, kita ketemu irisannya. Sehingga penonton yang tadinya hanya mau menonton film yang mainstream menjadi teredukasi dan itu tentu saja bukan sesuatu yng bisa dilakukan dengan cepat tapi inginnya nanti ke depan banyak film-film yang muncul dan itu warnanya berbeda-beda karena itu yang saya percaya ini membuat umur industri ini menjadi sangat panjang,” jelasnya.
Ifa pun tak menampik menerima pendanaan dari pasar industri bahkan melibatkan teritori luar negeri demi mendukung investasi film barunya sehingga keuntungan tak lagi murni berdasarkan jumlah penonton bioskop dalam negeri saja.
“Apa marketnya ada atau tidak, kita lihat saja. Kita juga deg-degan responnya, yang penting produser percaya saja,” tegas Ifa.
Skema bisnis baru dalam dunia film
Lebih lanjut, Ifa menuturkan ada perubahan skema bisnis dalam distribusi film saat ini. Jika pada jalur konvensional, rumah produksi hanya terfokus pada angka jumlah penonton bioskop, saat ini distribusinya melalui jaringan bioskop, layanan media over-the-top seperti HOOQ Indonesia yang menggandeng lebih awal Fourcolours Film sebagai pelaku produksi.
“Karena window distribusi sekarang seperti itu, bioskop, OTT, TV. DVD jelas sedikit sekali, jarang, sudah nggak ada. Secara investasi harus dihitung seperti itu jadi memamng hampir semua produser pasti memikirkan itu,” tutur Ifa.
Kesepakatan lebih awal dengan layanan media video-on demand, menurut Ifa akan menjadi lebih baik jika dieksekusi lebih awal sebelum proses produksi film
“itu sangat membantu kami sekali sebagian untuk biaya produksi, karena kalau kaya begitu sebagian (dana) ada di awal yang bisa kita buat syuting itu kaya termin saja. Tapi sebenarnya kita jadi sudah mengerti proyeksinya,” ungkap Ifa.
HOOQ Indonesia sebagai layanan media streaming berbasis video-on-demand mempraktikkan hal tersebut dengan membeli distribusi film Abracadabra di platformnya setelah 120 hari turun layar dari bioskop tanah air.
Hal ini dilakukan entitas yang memiliki jaringan di lima negara tersebut mengingat tingginya animo penonton film Indonesia akan karya artistik dan antimainstream.
“Model bisnisnya berbeda-beda bergantung bagaimana perjanjian di awal, bisa jadi bentuk kerjasamanya co-production atau sharing biaya produksi, sepertI Abracadabra ini produksi turunan dari Fourcolours Film,” pungkas Hera Laxmi Devi Septiani, Head of Marketing HOOQ Indonesia.