Bisnis.com, JAKARTA - Polusi udara mempengaruhi kesehatan fisik dan hasil penelitian dalam jurnal JAMA Network Open menyimpulkan bahwa anak-anak yang terpapar polusi udara tingkat tinggi berisiko lebih tinggi terkena skizofrenia pada masa dewasa.
"Studi ini menunjukkan semakin tinggi tingkat polusi udara, semakin tinggi risiko skizofrenia. Anak-anak yang terpapar di atas 25 g / m3 berisiko 60 persen lebih besar terkena skizofrenia dibandingkan dengan mereka yang terpapar kurang dari 10 g / m3," kata Peneliti Senior Henriette Thisted Horsdal.
Dengan kata lain, risiko mengembangkan skizofrenia sekitar dua persen, setara dengan dua dari seratus orang menderita skizofrenia selama hidup mereka.
Baca Juga Olahraga Perlambat Demensia |
---|
Kemudian, bagi mereka yang terpapar pada tingkat polusi udara terendah, risiko terkena skizofrenia di bawah dua persen.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir dan perubahan perilaku.
Gejala awal skizofrenia umumnya muncul di masa remaja sehingga sering disalahartikan karena dianggap wajar pada masa remaja. Gejala ini antara lain cenderung mengasingkan diri dari orang lain, mudah marah dan depresi, perubahan pola tidur, kurang konsentrasi dan motivasi.
Baca Juga Penyebab Kualitas Sperma Menurun |
---|
Thisted mengatakan, risiko seseorang mengembangkan skizofrenia lebih tinggi jika kecenderungan genetik untuk penyakit ini.
"Data kami menunjukkan, hubungan ini tidak tergantung satu sama lain. Hubungan antara polusi udara dan skizofrenia tidak dapat dijelaskan dengan riwayat genetik pada orang yang tumbuh di daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi," kata dia.
Untuk studi ini, peneliti melibatkan 23.355 orang dan 3.531 orang di antaranya mengembangkan skizofrenia.
Meskipun hasilnya menunjukkan peningkatan risiko skizofrenia ketika tingkat polusi udara selama masa kanak-kanak meningkat, para peneliti tidak dapat menjelaskan penyebabnya.
Mereka menekankan, perlunya studi lebih lanjut untuk dapat mengidentifikasi penyebab, demikian seperti dilansir Science Daily.