Bisnis.com, JAKARTA – Hipertensi yang tidak dideteksi dan ditangani dengan tepat melalui pemeriksaan klinik ataupun Pemeriksaan Tekanan Darah di Rumah (PTDR), berpotensi menyebabkan kerusakan organ tubuh, yaitu pada otak, jantung, mata, ginjal serta pembuluh darah perifer.
Ketua Umum Indonesian Society of Hypertension (InaSH) atau Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, Tunggul D. Situmorang mengatakan, penyakit hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang mengakibatkan meningkatnya angka kesakitan dan kematian serta beban biaya kesehatan.
Hipertensi tidak bergejala alias silent killer dan merusak organ-organ penting antara lain otak, jantung, ginjal, pembuluh darah besar sampai ke pembuluh darah kecil. Alhasil, kerusakan organ akan menyebabkan kecacatan yang berdampak beban biaya yang tinggi dan menurunnya kualitas hidup penderitanya.
Namun sayangnya, sampai saat ini kepedulian terhadap hipertensi dan kesadaran akan pencegahan sekaligus pengobatannya di Indonesia masih rendah. Sebagian besar penderita hipertensi tidak menyadari bahwa dirinya telah menderita hipertensi ataupun mendapatkan pengobatan.
Riskesdas 2018 mencatat sebanyak 63 juta orang atau sebesar 34, 1% penduduk di Indonesia menderita hipertensi. Dari populasi hipertensi tersebut, hanya sebesar 8,8% terdiagnosis hipertensi dan hanya 54,4% dari yang terdiagnosis hipertensi rutin minum obat.
“Pada Annual Meeting ke-13 Februari tahun 2019, PERHI meluncurkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi yang menggarisbawahi bahwa diagnosis hipertensi sangat ditentukan oleh Man, Material, Method yaitu dokter dan pasien, alat pengukur dan pengukurannya termasuk persiapannya,” kata Tunggul dalam konferensi pers di kantor InaSH, Kamis (20/2/2020).
Dia menegaskan, Pemeriksaan Tekanan Darah di Rumah (PTDR) berperan cukup penting untuk deteksi, diagnosis dan evaluasi terapi yang efektif. Tipe pemeriksaan ini juga bermanfaat memberikan gambaran variabilitas tekanan darah.
“Terdapat kasus khusus, yaitu pada pasien yang diagnosis hipertensinya meragukan misalnya pre hypertension atau borderline hypertension, white-coat hypertension atau tekanan darah tinggi bila diukur di klinik, atau masked hypertension alias tekanan darah justru tinggi bila di luar klinik atau di rumah,” jelas Tunggul.
Data penelitian PERHI pada 2017 menunjukkan bahwa 63 % pasien yang sedang diobati hipertensi tidak terkontrol. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi tidak terobati secara optimal oleh berbagai faktor. PTDR juga dapat meningkatkan tingkat kepatuhan pasien.
Tunggul menambahkan, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa PTDR mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan tekanan darah di klinik. Data survei PERHI yang dilakukan pada dokter-dokter menunjukkan bahwa sebagian 95% dokter sudah menganjurkan PTDR, tetapi tidak ada keseragaman dalam metode pengukuran maupun frekuensi pengukuran tekanan darah.
Oleh sebab itu, melalui Buku PTDR terbitan InaSH dijelaskan lebih rinci tentang PTDR untuk diagnosis hipertensi, cara menggunakan PTDR untuk pasien, frekuensi pemantauan dan target pengendalian tekanan darah.
“Tujuan dikeluarkannya buku PTDR adalah untuk mencapai hasil yang optimal dan maksimal pada pengobatan hipertensi sehingga pada fase dini dapat mencegah kerusakan organ, memperlambat terjadinya gagalnya organ yang sudah terkena dan menurunkan angka mortalitas,” tutur Tunggul.
Tunggul menegaskan, hal ini akan tercapai dengan memberi peran aktif dan lebih menyadarkan pasien bahwa harus ada kerjasama yang baik dan berkesinambungan antara pasien dan dokter dalam penatalaksanaan hipertensi.