Bisnis.com, JAKARTA – PP Aisiyiyah dan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) menggelar seminar nasional membahas kebutuhan gizi anak dalam rangka mendorong kualitas dan daya saing sumber daya manusia.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, menunjukkan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular dibandingkan Riskesdas 2013. Beberapa contoh peningkatan adalah prevalensi diabetes melitus naik 6,9 persen, menjadi 8,5 persen. Selain itu tingkat obesitas pada remaja juga naik signifikan. Riset yang sama juga menyatakan, di sejumlah daerah masih ada stunting dan gizi buruk.
Ketua YAICI Arif Hidayat menjelaskan masalah yang menyebabkan stunting dan gizi buruk adalah kurangnya informasi dan akses masyarakat pada makanan dan minuman yang sehat. Beberapa contoh adalah kesalahan persepsi pada produk kental manis.
Dia menjelaskan, kental manis yang sudah lama diiklankan sebagai minuman susu, sebenarnya memiliki kandungan gula 54 persen. Ketika ada bayi atau balita yang mengonsumsi kental manis sebagai minuman susu akibatnya bayi berpotensi mengalami gizi buruk.
“Misalnya, ada temuan balita yang menderita gizi buruk akibat mengonsumsi susu kental manis di Kendari dan Batam, salah satunya meninggal dunia,” ujar Arif di Gedung Kemendikbud, Rabu (26/2/2020).
Kondisi ini menjadi kontradiksi ketika Indonesia pada 2045 akan mengalami bonus demografi dimana 70 persen dari total jumlah penduduk Indonesia berusia produktif yakni 15-64 tahun. Sisanya ada 30% penduduk yang tidak produktif, dengan usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun. Dengan jumlah usia produktif mencapai 70%, maka beban tanggungan dari penduduk usia produktif menurun, atau menjadi lebih rendah yakni 0,4 persen sampai 0,5 persen.
Pemerintah pun melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan Peraturan BPOM Nomor 31/2018 tentang Label Pangan Olahan pada Oktober 2018 yang mengatur mengenai label dan iklan. Namun, Arif menilai pengawasan terhadap aturan ini di lapangan masih belum optimal.
Dia memerinci, kampanye atau penjualan yang dilakukan oleh SPG produk kental manis serta penempatan produk di supermarket masih kerap dicampurkan dengan produk susu anak lainnya. Hal-hal seperti ini menurut Arif perlu pangawasan ekstra dari masyarakat.
“Sehingga, edukasi atau kampanye kesehatan yang digaungkan pemerintah menjadi rancu bagi masyarakat. Karena itulah kami meminta kesadaran produsen dan peran sertanya mengedukasi masyarakat dengan cara jujur dalam berjualan,” tutur Arif.